Pertemuan dengan Presiden Jokowi di Istana Merdeka Jakarta, Minggu (25/6/17) dalam rangka membangun silaturahmi, bertepatan dengan Idul Fitri 1438. Tim GNPF MUI ini bertujuan meminta hak kepemilikan akses komunikasi langsung dengan Presiden Jokowi. Dan Tim GNPF-MUI juga mendukung sepenuhnya kebijakan pemerintah dalam pembangunan bangsa serta mengapresiasi apa yang dilakukan oleh Presiden.
Beberapa waktu lalu GNPF-MUI sudah menilai tak melihat adanya pengistimewaan pada kasus Ahok. Mereka menilai, di tahannya Ahok di rutan Cipinang dan kini dipindahkan ke Mako Brimob itu merupakan balasan atas perbuatannya yang telah menistakan agama. Dan di dalam putusan pada vonis hakim di gedung kementerian pertanian, Ahok memang dinyatakan bersalah, dan secara hukum Ahok bahkan langsung ditahan.
Namun, upaya hukum lain sejatinya masih terbuka luas bagi Ahok dalam membuktikan ia tidak bersalah. Tetapi justeru ia dan Tim Kuasa Hukumnya tidak menempuh upaya itu, malah ia justeru bersedia dihukum selama 2 tahun penjara. Awalnya ia membatalkan banding. Dengan begitu Ahok menghormati putusan hakim sebagai nilai hukum yang patut diterapkan dan siap menjalani hukuman. Sebagai warga negara yang baik, semua tentu sama dihadapan hukum tanpa lagi perlu untuk menghindari sanksi hukum.
Selama ini, yang pro terhadap Ahok malah telah membungkam diri. Bukan berati tidak melakukan hal-hal yang positif, misalnya bagi sebagian yang pro terhadap Ahok, mereka sebatas melakukan ritual idola-idolaan sebatas diruang publik, media sosial dan sikap dukungan dengan simpati yang berempati, namun tidak pernah mengganggu pemerintah yang focus sedang membangun bangsa dengan menggampangkan sikap padu dan etika berkomunikasi, dengan jalur melabrak otoritas dan jalur kelembagaan negara seolah-olah dimanfaatkan kembali guna mengakali cara untuk 'pembebasan diri'.
Beberapa waktu lalu GNPF-MUI sudah menilai tak melihat adanya pengistimewaan pada kasus Ahok. Mereka menilai, di tahannya Ahok di rutan Cipinang dan kini dipindahkan ke Mako Brimob itu merupakan balasan atas perbuatannya yang telah menistakan agama. Dan di dalam putusan pada vonis hakim di gedung kementerian pertanian, Ahok memang dinyatakan bersalah, dan secara hukum Ahok bahkan langsung ditahan.
Namun, upaya hukum lain sejatinya masih terbuka luas bagi Ahok dalam membuktikan ia tidak bersalah. Tetapi justeru ia dan Tim Kuasa Hukumnya tidak menempuh upaya itu, malah ia justeru bersedia dihukum selama 2 tahun penjara. Awalnya ia membatalkan banding. Dengan begitu Ahok menghormati putusan hakim sebagai nilai hukum yang patut diterapkan dan siap menjalani hukuman. Sebagai warga negara yang baik, semua tentu sama dihadapan hukum tanpa lagi perlu untuk menghindari sanksi hukum.
Selama ini, yang pro terhadap Ahok malah telah membungkam diri. Bukan berati tidak melakukan hal-hal yang positif, misalnya bagi sebagian yang pro terhadap Ahok, mereka sebatas melakukan ritual idola-idolaan sebatas diruang publik, media sosial dan sikap dukungan dengan simpati yang berempati, namun tidak pernah mengganggu pemerintah yang focus sedang membangun bangsa dengan menggampangkan sikap padu dan etika berkomunikasi, dengan jalur melabrak otoritas dan jalur kelembagaan negara seolah-olah dimanfaatkan kembali guna mengakali cara untuk 'pembebasan diri'.
Isu jalur rekonsiliasi kian menguat atas beragam kasus yang mestinya masih dilakukan upaya pembuktiannya oleh aparat berwenang. Hal ini, bukan berarti sewenang-wenang memunculkan istilah 'kriminalisasi'. Dan, tidak hanya itu, penegakan hukum (law enforcement) harusnya didukung oleh setiap warga negara dalam upaya menjaga kestabilan situasi sosial dan kemasyarakatan yang taat hukum.
Tidak halnya masyakat tanpa kelas, pejabat, bahkan setiap orang termasuk ulama pun harus memegang teguh kesetaraan itu. Tidak demikian, sikap dari Tim GNPF MUI (disana, mereka tidak mewakili semua rakyat Indonesia) selama ini selalu menguber pemerintah melalui pakar, ahli hukum, bahkan ulama kembali diajak merapat leluasa didekat pemerintah dengan alasan persoalan saat ini diselesaikan dengan tanpa perlu intervensi pemerintah.
Sebelumnya, pihak GNPF MUI dan termasuk MUI itu sendiri berang atas pernyatan Wiranto selaku Menko Polhukam. Saat, Wiranto meminta setiap fatwa yang akan dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) harus dikoordinasikan dulu dengan pemerintah agar tidak timbul keresahan di masyarakat. Beberapa saat itu, MUI akhirnya memberikan apresiasi kepada pemerintah, memang setiap implementasi pelaksanaan fatwa harus dikoordinasikan bersama sehingga dalam eksekusinya tidak menimbulkan ekses negatif di masyarakat Indonesia yang plural.
Belakangan ini, kerapkali ada pantauan, masyarakat yang berkumpul mengenakan pakaian hitam dan putih, membawa spanduk-spanduk bertuliskan dukungan keberadaan ulama di Indonesia, salah satunya Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab yang tengah terbelit masalah hukum. Semua yang berkumpul memiliki satu tujuan, yakni menunjukkan dukungan terus membela Islam dan alim ulama. "Ini adalah rangkaian aksi bela ulama" lewat orasi.
Ini menandakan, ulama di Indonesia tengah dikriminalisasi dengan kasus-kasus hukum yang dinilai lebih berunsur politik. Dan harus dihentikan segala upaya yang ingin menjerat dan menjatuhkan wibawa ulama.
Aspirasi-aspirasi ini menjadi semacam aksi yang ingin mengaburkan segala bentuk dalam kasus hukum. Misalnya saja, Rizieq Shihab. Jika bukan hanya satu kasus hukum yang dihadapinya, tidak hanya masalah 'balada cinta rizieq' dalam kasus chatt dengan Firza Husein, namun seabrek peroalan hukum lainnya tentu menimbulkan reaksi wibawa hukum. Dengan berjalannya criminal justice system, robot deteksi sekaligus penentu dalam mengungkap persoalan hukum. Dan, efektivitas dalam sistem yang berjalan sebagaimana mestinya tersebut, adalah harapan semua pihak dalam upaya penegakan hukum.
Kasus gerakan makar, Penistaan Pancasila (pantatcina), orasi penghinaan terhadap agama lain, penghinaan presiden (jokodok), penghinaan atas budaya suku lainnya, orasi "rebut wikayah provinsi yang gubernurnya non muslim", orasi mendukung ISIS, orasi "bunuh pendeta", orasi hina Hansip, orasi aparat suruh pakai BH, orasi revolusi, dan lainnya. Itu (katanya) ulama yang bersuara, serak parau di atas mobil truk teriak-teriak.
Tidak halnya masyakat tanpa kelas, pejabat, bahkan setiap orang termasuk ulama pun harus memegang teguh kesetaraan itu. Tidak demikian, sikap dari Tim GNPF MUI (disana, mereka tidak mewakili semua rakyat Indonesia) selama ini selalu menguber pemerintah melalui pakar, ahli hukum, bahkan ulama kembali diajak merapat leluasa didekat pemerintah dengan alasan persoalan saat ini diselesaikan dengan tanpa perlu intervensi pemerintah.
Sebelumnya, pihak GNPF MUI dan termasuk MUI itu sendiri berang atas pernyatan Wiranto selaku Menko Polhukam. Saat, Wiranto meminta setiap fatwa yang akan dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) harus dikoordinasikan dulu dengan pemerintah agar tidak timbul keresahan di masyarakat. Beberapa saat itu, MUI akhirnya memberikan apresiasi kepada pemerintah, memang setiap implementasi pelaksanaan fatwa harus dikoordinasikan bersama sehingga dalam eksekusinya tidak menimbulkan ekses negatif di masyarakat Indonesia yang plural.
Belakangan ini, kerapkali ada pantauan, masyarakat yang berkumpul mengenakan pakaian hitam dan putih, membawa spanduk-spanduk bertuliskan dukungan keberadaan ulama di Indonesia, salah satunya Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab yang tengah terbelit masalah hukum. Semua yang berkumpul memiliki satu tujuan, yakni menunjukkan dukungan terus membela Islam dan alim ulama. "Ini adalah rangkaian aksi bela ulama" lewat orasi.
Ini menandakan, ulama di Indonesia tengah dikriminalisasi dengan kasus-kasus hukum yang dinilai lebih berunsur politik. Dan harus dihentikan segala upaya yang ingin menjerat dan menjatuhkan wibawa ulama.
Aspirasi-aspirasi ini menjadi semacam aksi yang ingin mengaburkan segala bentuk dalam kasus hukum. Misalnya saja, Rizieq Shihab. Jika bukan hanya satu kasus hukum yang dihadapinya, tidak hanya masalah 'balada cinta rizieq' dalam kasus chatt dengan Firza Husein, namun seabrek peroalan hukum lainnya tentu menimbulkan reaksi wibawa hukum. Dengan berjalannya criminal justice system, robot deteksi sekaligus penentu dalam mengungkap persoalan hukum. Dan, efektivitas dalam sistem yang berjalan sebagaimana mestinya tersebut, adalah harapan semua pihak dalam upaya penegakan hukum.
Kasus gerakan makar, Penistaan Pancasila (pantatcina), orasi penghinaan terhadap agama lain, penghinaan presiden (jokodok), penghinaan atas budaya suku lainnya, orasi "rebut wikayah provinsi yang gubernurnya non muslim", orasi mendukung ISIS, orasi "bunuh pendeta", orasi hina Hansip, orasi aparat suruh pakai BH, orasi revolusi, dan lainnya. Itu (katanya) ulama yang bersuara, serak parau di atas mobil truk teriak-teriak.
Itu semua bisa ditonton melalui tayangan youtube/media sosial yang terkontenisasi dalam lalu lintas topik trending, dapat sebagai pembanding menilai masalah. Orasi, 'sableng' dari beberapa muatan dan konten tersebut, muaranya sudah sangat dekat dengan terjadinya keresahan masyarakat, jika itu bebas berseliweran, bukan tidak, mental radikalis di negara bisa berkembang.
Kemudian, isu itu dikaitkan lagi dengan persoalan Pilgub Jakarta saat itu, dianggap sebagai kebijakan 'balas dendam', adalah alibi dengan klise yang begitu ngeyel. Lalu dianggap sebagai upaya sistematis untuk membubarkan ormas seperti HTI, termasuk FPI, pun alasan klise dan kamuflase para aktivis yang berupaya mengaburkan persoalan hukum sebagai persoalan politk. Sudah saatnya, ada jargon-jargon yang anti Pancasila harus di 'gebug', kata pak Dhe Jokowi.
Bukan persoalan hukum, tetapi dianggap strategi politik yang dilakukan elit kekuasaan. Kiranya, asumsi demikian sah-sah saja, namun terlalu bias, absurd karena pernyataan sikap demikian, adalah pendapat sepihak dan masih terlalu dini jika tanpa fakta untuk penguatan opini. Akan tetapi, fiksi lah yang berkembang sebagai upaya untuk mengaburkan masalah.
Embo
Embo
No comments:
Post a Comment