Dari Empiris, Metafisik ke Yuridis
Negara kembali menaruh perhatian terhadap Pancasila. Bahkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kini gencar menyosialisasikan 4 Pilar Kebangsaan yang intinya adalah Pancasila. Tentu, mau tidak mau semua harus menoleh kepada Pidato Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 yang kini dikenal sebagai Pidato Lahirnya Pancasila, ” termasuk jika mengupas prinsip “Ketuhanan” sebagai Sila –V dalam Pidato 1 Juni 1945, dan kemudian menjadi Sila Pertama dalam tata urutan Pancasila di berbagai dokumen berikutnya, tetap bertitik tolak dari isi pidato Soekarno tersebut. Namun, memahaminya dengan mendalam jelas perlu memahami alur pemikiran Soekarno tentang Ketuhanan, melalui berbagai referensi terutama tulisan dan pidato Soekarno, baik pada masa pra kemerdekaan maupun sesudahnya.
Kendati di masa Orde Baru, pernah ada upaya membangkitkan keraguan terhadap Soekarno sebagai penggali Pancasila, namun tak dapat disangkal bahwa Soekarno adakah sumber pertama dan utama yang memperkenalkan Pancasila bagi bangsa ini, bahkan bagi masyarakat dunia, dan Pidato Ir Soekarno 1 Juni 1945 di depan sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (1) tanggal 1 Juni 1945 itulah yang jadi rujukan awal yang jadi dasar formulasi tata urutan sila-sila dari Pancasila yang dikenal saat ini.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita ? Menurut geopolitik (6) maka Indonesia-lah tanah air kita. Indonesia yang bulat – bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja atau Selebes saja atau Ambon saja atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi satu kesatuan antara dua benua dan dua samudera – itulah tanah air kita (7) (Pidato 1 Juni 1945)
Oleh : Paulus LondoIr. Soekarno (Presiden R.I. Pertama) |
Garuda. Jakarta45-files |
Memang, urutan uraian tentang sila-sila (prinsip) dari Pancasila dalam pidato 1 Juni 1945, berbeda dengan tata urutan sila-sila sebagaimana tercantum dalam dokumen berikutnya, seperti pada Piagam Jakarta yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan, di dalam Pembukaan UUD 1945, mau pun dalam pidato-pidato Soekarno di berbagai kesempatan. Namun semua itu, tidak mengurangi peran Soekarno sebagai “key person” dalam perumusan Pancasila baik sebagai dasar negara maupun sebagai pandangan hidup bangsa. Dengan demikian, untuk dapat memahami Pancasila perlu memahami logika pemikiran Soekarno yang sebagian besar dibangun secara empiris melalui pengalaman sejarah kehidupan bangsa ini. Tata urutan sila-sila Pancasila yang diucapkan oleh Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945 adalah :
- Kebangsaaan Indonesia
- Internasionalisme – atau Perikemanusiaan
- Mufakat – atau Demokrasi
- Kesejahteraan Sosial
- Ketuhanan
Sedangkan urutan sila-sila hasil Panitia Sembilan yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta adalah :
- Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selanjutnya, tata urutan sila-sila Pancasila di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut:
- Ketuhanan Yang Maha Esa;
- Kemanusiaan yang adil dan beradab;
- Persatuan Indonesia;
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan;
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Patut dipahami, formulasi dua tata urutan sila-sila dalam Pancasila yang terakhir disusun dengan mengacu kepada Pidato Ir. Soekarno 1 Juni 1945, dan proses formulasi penyusunanan juga melibatkan –bahkan dipimpin—oleh Ir. Soekarno. Bahwa ada perbedaan dalam tata urutan antara susunan pertama dengan yang kedua dan ketiga, itu terjadi karena Pidato 1 Juni 1945 adalah pidato tanpa teks, merupakan curahan hati Soekarno yang disampaikan secara spontan, sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat itu. Dalam mengucapkan pidato 1 Juni 1945, Soekarno tidak mementingkan sistematika, melainkan ia lebih mengutamakan pengungkapan realita kehidupan masyarakat yang dirasakannya setiap hari yang sesungguhnya gambaran dari Pancasila itu sendiri.
Karena itu pula, tata urutan sila-sila Pancasila yang diucapkan pada 1 Juni 1945 dapat disebut sebagai formulasi empiris. Sedangkan versi Panitia Sembilan dapat disebut sebagai formulasi filosofis sedangkan di dalam Pembukaan UUD 1945 adalah formulasi yuridis. Pemahaman mendalam nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila baik filosofis maupun yuridis tentu hanya tercapai jika terlebih dahulu memahami fakta empiris yang diungkapkan oleh Soekarno, serta logika pemikiran Soekarno, terutama pada masa pra kemerdekaan.
II
Ketuhanan Dalam Pikiran Soekarno
Terkait Pidato 1 Juni 1945, maka satu hal yang kerap dipertanyakan oleh berbagai pihak adalah penempatan “Prinsip Ketuhanan” pada urutan terakhir, sementara prinsip Kebangsaan pada urutan pertama. Oleh karena itu beberapa kalangan menilai Soekarno seorang nasionalis sekularis, setidaknya jika menggunakan alur logika barat. Tetapi, penilaian seperti ini kerap terbantahkan jika melihat alur pemikiran Soekarno di berbagai tulisan dan pidatonya, yang sesungguhnya sarat dengan nilai-nilai keimanan (tauhid).
Pada tulisannya berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme,” dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I (2),terlihat dengan jelas upaya Soekarno mempertemukan aliran pemikiran yang oleh banyak kalangan mustahil dapat dipertemukan seraya menempatkannya dalam perspektif keimanan. Yakni dengan melihat esensi dan makna yang lebih tinggi atau hogere optrekking (3) dari masing-masing paham itu. Dalam tulisan yang diterbitkan oleh Suluh Indonesia Muda (1926) Sukarno mengatakan:
“…nasionalisme di dalam kelebaran dan keluasannya mengasih tempat cinta pada lain bangsa, sebagai lebar dan luasnya udara, yang mengasih tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup … nasionalisme yang membuat kita menjadi ‘perkakasnya Tuhan’ dan membuat kita menjadi ‘hidup dalam roh’ …”
Lalu, mengapa pada Pidato 1 Juni 1945, Prinsip Ketuhanan diuraikan paling terakhir ?
Jawabannya bisa beragam. Tapi jika dikaitkan dengan konteks pidato tersebut, maka penempatan Prinsip Kebangsaan pada urutan pertama, tidak semata-mata pertimbangan teknis untuk memberikan jawaban to the point terhadap pertanyaan Ketua BPUPKI Radjiman Wedyodiningrat, tentang prinsip utama yang jadi fondasi bagi negara yang akan dibangun, tetapi sekaligus menjelaskan kerangka berpikir Soekarno yang berproses dari fisik empiris ke metafisik. Kerangka berpikir ini dengan sendirinya menjelaskan pernyataan Soekarno bahwa ia bukan pencipta Pancasila, melainkan hanya menggali nilai-nilai dasar tersebut dari bumi kehidupan bangsa Indonesia. Dan isi pidato itu mengalir spontan dari dalam hati serta pikiran Soekarno.
Lantas, apakah karena itu pula, Soekarno mengabaikan dimensi keimanan dalam menyampaikan prinsip-prinsip yang menjadi sila-sila dari pada Pancasila ?
Jika menyimak Pidato 1 Juni 1945, sesungguhnya saat Soekarno menjelaskan prinsip kebangsaan, ia telah meletakkan konsep negara sebagai sesuatu yang berciri khas Indonesia yang didalamnya terkandung nilai –nilai keimanan. Dalam pidato itu Soekarno berkata :
“.. Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan (4) dan Otto Bauer (5) hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan gemeinschaftnya dan perasaan orangnya, “I ame et le desir. Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia. Apakah tempat itu ? tempat itu adalah tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah SWT membuat peta dunia, menyusun peta dunia……………………………
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita ? Menurut geopolitik (6) maka Indonesia-lah tanah air kita. Indonesia yang bulat – bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja atau Selebes saja atau Ambon saja atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi satu kesatuan antara dua benua dan dua samudera – itulah tanah air kita (7) (Pidato 1 Juni 1945)
Beberapa hal penting dari pidato diatas adalah :
- Soekarno menghendaki negara yang dibangun adalah negara kebangsaan (nation state) yang menghimpun dan mengayomi keanekaragaman masyarakat Indonesia.
- Soekarno menilai konsep “bangsa” dari sejumlah pemikir barat yang hanya melihat bangsa dari aspek “gemeinschaft” (karakter dan perangai manusia), tidak melihat adanya pertautan bangsa dengan alam yang menjadi ruang kehidupannya (lebensraum).
- Bangsa dan negara sebagai sesuatu yang memiliki makna spiritual, yakni memiliki dimensi keimanan (tauhid), karena terbentuknya bangsa dan negara ini sebagai kehendak illahi.
Bagi Soekarno bangsa dan negara Indonesia tidak hanya suatu fenomena sosiologis, tapi juga memiliki makna geopolitik dan teologis. Tampaknya, Soekarno sengaja menjelaskan ketiga hal itu dibagian awal saat mengupas prinsip kebangsaan, karena sesungguhnya saat menyampaikan pidato itu, kemungkinan besar ia kuatir apa yang ia sampaikan bakal ditolak sebagian anggota BPUPKI –sebagaimana pembicara sebelumnya—terutama oleh mereka yang mengusulkan konsep negara berdasar agama.
Mengedepankan dimensi ketuhanan sebagai bagian yang esensial dari kebangsaan dan kenegaraan yang hendak dibangun bersama tentu dapat menentramkan hati anggota BPUPKI termasuk mereka yang mengusung aspirasi negara berdasar agama. Apalagi hal yang sama secara tersirat juga dipertegas pada saat menjelaskan prinsip kedua, yakni Internasionalisme dengan mengutip pendapat Mahatma Gandhi, yakni “My Nationality Is Humanity” dan prinsip ketiga yakni Permusyawaratan/Perwakilan yang memberikan peluang bagi pemeluk agama memperjuangkan aspirasinya “Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun adalah orang Islam –maaf beribu-ribu maaf, keislaman jauh belum sempurna—tetapi kalau Saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tak lain, tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama yaitu dengan jalan pembicaraan atau pun permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan rakyat. (Pidato 1 Juni 1945).
Menghubungkan prinsip kebangsaan, internasionalisme (peri kemanusiaan) serta prinsip permusyawaratan/perwakilan, tidak hanya menunjukkan kemampuan Soekarno mengadopsi pemikiran barat modern, tapi sekaligus memperbaikinya dengan memberi landasan keimanan. Beberepa sumber menjelaskan dalam soal kebangsaan, Soekarno memang cenderung memandangnya sebagai fenomena sosial, sebagai fakta empiris. Tapi, persinggungannya dengan H Agus Salim, membuka cakrawala baru tentang kebangsaan sebagai fenomena teologis, yakni tauhid dalam ajaran Islam.
Tauhid mengandung pengertian adanya kesatuan yang Mutlak yakni Allah. Selain itu prinsip Tauhid mengandung pengertian akan kesamarataan semua makhluk di depan Allah SWT tanpa membedakan rasa dan asal usulnya.
III
Pancasila – Trisila – Ekasila
Sebagai formulasi empiris yang disampaikan secara spontan, tampaknya Soekarno tidak terlalu memperdulikan kemasan, sebab bagi dia yang penting kandungan isi yang terdapat di dalamnya. Karena itu itu, selain ia menawarkannya sebagai Pancasila, ia juga menawarkan formulasi yang lebih esensial yakni Trisila, yakni:
- Sosio Nasionalisme
- Sosio Demokrasi
- Ketuhanan Yang Maha Esa
Dalam bentuk yang lebih esensial lagi, Soekarno menawarkan Ekasila yakni : Gotong Royong. Nasionalisme sosial yang didalamnya mengandung prinsip kebangsaan dan perikemanusiaan, yang menegaskan pentingnya hubungan antara bangsa atas dasar kemerdekaan dan keadilan sesungguhnya memiliki makna tauhid. Begitu pula Demokrasi sosial yang menegaskan tegaknya keadilan sosial sebagai prasyarat terciptanya kesejahteraan sosial juga memiliki basis keimanan karena semua itu dapat ditemukan di dalam ajaran agama-agama. Sedangkan gotong royong, perikehidupan hidup tolong menolong dalam tradisi masyarakat Indonesia, tidak hanya merupakan wujud keterikatan sosial antar satu dengan yang lain, tapi lebih dari itu memiliki makna religius spiritual yang dipandang sakral.
Nilai-nilai yang terkandung di dalam perikehidupan bangsa Indonesia yang oleh Soekarno diformulasikan baik dalam Pancasila, Trisila dan Ekasila, sesungguhnya dapat ditemukan di dalam pesan-pesan agama yang hidup subur di Indonesia. Karena itu, saat mengenalkan Pancasila kepada dunia, Presiden Soekarno saat berpidato di depan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengutip surat Al Hujarat ayat 13 yang berbunyi “Wahai manusia sesungguhnya aku menjadikan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan, agar kamu hidup bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, dan kamu sekalian dapat mengenal satu sama lain, tapi ketahuilah yang mulia diantara kamu sekalian ialah yang bertaqwa kepadaKu.”
Begitu pula, pada kesempatan yang berbeda, ia kerap mengutip ayat-ayat Injil tentang Hukum Kasih, atau menjelaskan makna “Tat Twam Asi” yang terdapat di dalam kitab agama Hindu “Uphanisad Chandogya, bahkan pada saat menerima gelar Doctor (HC) di bidang ilmu Tauhid dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Soekarno mengutip beberapa kalimat dari serat Bhagavat Gita dari umat Hindu.
IV
Negara Bertuhan
Kuatnya dimensi ketuhanan di dalam pemikiran Soekarno sebagaimana tercermin di dalam Pidato 1 Juni 1945 antara lain terlihat pada konsep “negara bertuhan” sebagai pengembangan perikehidupan masyarakat Indonesia di dalam kehidupan berbansa dan bernegara. Dalam pidato itu Soekarno berkata :
“ ….Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-tuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.
Tapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya menyembah Tuhan dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama.” Dan hendaknya negara Indonesia suatu Negara yang ber-Tuhan.
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam maupun Kristen dengan cara berkeadaban . Apakah cara yang berkeadaban itu ? Ialah hormat menghormati satu sama lain. (tepuk tangan sebagian hadirin).
Nabi Muhammad SAW telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid (10) ]tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita didalam Indonesia merdeka yang kita susun ini –sesuai dengan itu—menyatakan bahwa prinsip kelima dari negara kita ialah Ketuhanan yang berkebudayaan. Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa !
Disinilah, dalam pengakuan azas yang kelima inilah, saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang mendapat tempat sebaik-baiknya. Dan negara kita ber-Tuhan pula! Ingatlah, prinsip ketiga –permufakatan, perwakilan—disitulah tempatnya kita mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara yang tidak onverdraagzaam (11) yaitu dengan cara yang berkebudayaan (Pidato 1 Juni 1945).
Bagi Soekarno, negara berketuhanan adalah konsekuensi logis dari perikehidupan masyarakat Indonesia yang bertuhan. Atas dasar ketuhanan, diyakni bahwa segala sesuatu yang terjadi di atas bumi adalah kehendak Tuhan. Karena itu, dalam menjelaskan Prinsip Kelima yakni Ketuhanan, Soekarno memberi penekanan terhadap dua hal, yakni :
Bagi Soekarno, negara berketuhanan adalah konsekuensi logis dari perikehidupan masyarakat Indonesia yang bertuhan. Atas dasar ketuhanan, diyakni bahwa segala sesuatu yang terjadi di atas bumi adalah kehendak Tuhan. Karena itu, dalam menjelaskan Prinsip Kelima yakni Ketuhanan, Soekarno memberi penekanan terhadap dua hal, yakni :
Pertama, ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai yang absolut berlaku di semua aspek dan dimensi kehidupan, termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
Kedua, relasi hubungan antar pemeluk agama dalam masyarakat yang beraneka ragam.
Negara sebagai instititusi yang menaungi segenap bangsa Indonesia mesti memberikan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi warga negara agar dapat menyembah Tuhan dan menjalankan agamanya dengan leluasa. Relasi antar pemeluk agama didasarkan pada toleransi, tanpa egoisme agama, keluhuran budi, yakni dengan cara yang berbudaya. Hal ini oleh Soekarno disebut sebagai “Ketuhanan Berkebudayaan,” artinya kehidupan spiritual yang berkembang maju seirama dengan perkembangan kebudayaan.
Setiap pemeluk agama dapat memperjuangkan aspirasi keagamaannya, tapi dengan cara berbudaya, yakni dengan cara permufakatan melalui badan perwakilan. Pengamalan prinsip negara betuhan, dan ketuhanan berkebudayaan, tentu hanya bisa terwujud jika sungguh-sungguh juga mengamalkan sila-sila lain dari Pancasila.
Manusia yang menanamkan nilai-nilai Ketuhanan berkebudayaan dalam dirinya, senantiasa akan mengedepankan nilai kemanusiaan. Dari kemanusiaan maka lahirlah hukum-hukum yang adil dan beradab, sebagai dasar terciptanya keadilan sosial. Dengan tatanan itu maka manusia dapat bersatu sebagai satu bangsa yang hidup di dalam negara sebagai sarana perjuangan menuju terbentuknya peradaban baru, Indonesia Baru, dimana manusia yang jumlahnya terdiri ratusan suku, beratus-ratus bahasa dilebur menjadi Manusia Indonesia.
V
Problema Masa Kini
Prinsip negara Bertuhan dan Ketuhanan Berkebudayaan sesungguhnya menjadi dasar moral bagi bangsa Indonesia, baik dalam hidup berkebangsaan mau pun dalam bernegara. Karena itu, ia harus tetap dijaga dan dikembangkan secara kreatif agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Soekarno, menegaskan bahwa Pancasila memang digali dari kenyataan hidup masyarakat Indonesia. Artinya, ia berada dialam nyata dan senantiasa dapat dipergunakan sebagai acuan sekaligus parameter dalam penyelenggaraan kehidupan kebangsaaan dan kenegaraan.
Tapi, sepanjang masa Orde Baru Pancasila mengalami pengkramatan yang luar biasa. Ia dipandang sebagai sesuatu yang sakti berbau magis, sehingga menjauh dari realitas kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam hidup berketuhanan misalnya, yang kerap terjadi adalah reduksi pemaknaan, yakni sebatas diukur dengan semaraknya ritual keagamaan. Bahkan perikemanusiaan kian kehilangan makna teologis ketika pelanggaran atas hak-hak azasi manusia menjadi sesuatu yang lazim. Sementara kedaulatan rakyat dipersempit menjadi kedaulatan segelintir elite belaka. Belakangan, prinsip musyawarah untuk mufakat kian tersingkir seiring dengan dominasi melalui kompetisi politik kian diniscayakan.
Sebagian orang pun berkilah, bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Karena itu suara mayoritas bisa dimaknai pula sebagai suara tuhan. Lantas bagaimana memaknai “Mayoritas sebagai Tuhan,” jika dikaitkan dengan Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa ?
Bagi Soekarno, negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah wujud tauhid fungsional. Pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa mesti dapat jadi sumber energi pendorong terwujudnya persatuan nasional. Sebab sesungguhnya warga bangsa yang bertuhan ini berada pada jalan yang sama dalam emanifestikan nilai-nilai dan atribut-atribut ketuhanan (divine values and attributes). Sesama pemeluk agama memiliki space yang sama untuk menyemai kebajikan-kebajikan ketuhanan dalam kehidupan kebangsaan Indonesia.
Dalam menapak tilasi pemikiran Soekarno sebagai Bapak Bangsa, saat ini tentu muncul rasa penyesalan menyaksikan situasi keberagamaan kontemporer. Para pemeluk agama lebih sibuk mengurusi teologi dan bahkan saling mempertengkarkan ritus pemeluk agama lainnya, akibatnya jangankan bisa bersatu memerangi musuh kemanusiaan yang hakiki yakni tiran-tiran yang merintangi perwujudan filosofi penciptaan makhluk. Pemuka agama di suatu daerah lebih sering berfokus mengupayakan agar pemeluk agama berbeda memeluk agamanya, dari pada berjuang agar kekayaan alam yang diciptakan Tuhan di daerah itu betul-betul diperuntukkan bagi kesejahteraan manusianya.
Kealpaan bangsa ini menggali dan memperkaya nilai-nilai Pancasila, tampaknya telah membuat bangsa ini berjalan tanpa arah. Realita faktual menunjukkan, bahwa saat ini, semangat kesukuan/kedaerahan dan keagamaan kian menguat. Bersamaan dengan itu, kehidupan sosial, politik, ekonomi cenderung kehilangan akar teologisnya.
Karena itu, menyegarkan kembali semangat atas dasar nilai-nilai Pancasila menjadi kewajiban kita semua. Ia harus dikembalikan lagi pada arena kehidupan nyata agar berfungsi efektif sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara.
VI
Pengembaraan Pemikiran Soekarno
Menurut Soekarno, prinsip Ketuhanan (salah satu sila dari Pancasila) digali dari perikehidupan masyarakat Indonesia, dan dengan keyakinannya itu, ia lebih memilih Indonesia sebagai negara nasional bukan negara berlandaskan agama. Untuk memahami hal ini, tentu perlu mengetahui alur pemikiran Soekarno, khususnya mengenai soal Ketuhanan.
Seperti diakuinya kepercayaannya akan eksistensi Tuhan sudah tertanam di dalam dirinya sejak kecil. “Kami adalah bangsa yang hidup dari pertanian, dan siapakah yang menumbuhkan segala sesuatu ? Al Khalik, Yang Maha Pencipta. Kami terima ini sebagai kenyataan hidup. Jadi aku adalah orang yang takut kepada Tuhan dan cinta kepada Tuhan sejak lahir, dan keyakinan ini telah bersenyawa dengan diriku,” (Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat halaman 151).
Soekarno memang mendapat pelajaran agama secara khusus, sehingga pemahamannya tentang ketuhanan lebih bersifat empiris, yang diserapnya bersama dengan berbagai nilai kehidupan yang ditanamkan kepadanya. Seperti diketahui, Soekarno lahir dari seorang ibu, Ida Ayu Nyoman Rai, penganut Hindu puteri seorang Brahmana dari Kerajaan Singaraja (Buleleng) Bali. Dari ibunya itu, ia menyerap Hinduisme dan Budhaisme. Namun yang paling berkesan dari ibunya adalah, sikap anti penjajahan (Belanda) akibat pengalaman traumatik oleh penaklukan Belanda atas Kerajaan Buleleng yang membuat keluarga ibunya menderita.
Dari kakek-neneknya, ia menyerap kebudayaan Jawa dan mistik, dan dari ayahnya. R Sukemi Sosrodihardjo belajar Islam (Jawa) dan teosofi. Sedangkan Sarinah, pengasuhnya menanamkan cinta kepada sesama (humanisme).
Pemahamannya tentang Islam baru berkembang setelah bersekolah di HBS HBS (Hoogore Burger School) Surabaya, saat ini indekos di rumah HOS Tjokroaminoto, Ketua Serikat Islam. Tetapi, ia peroleh bersama HOS Tjokroaminoto bukan pengetahuan agama yang bersifat dogmatis teologis, melainkan pemikiran-pemikiran Islam yang berhubungan dengan paham kebangsaan dan sosialisme. Jadi lebih berhubungan masalah sosiologi politik. Meski memimpin organisasi Serikat Islam, HOS Tjokroaminoto memang bukan seorang “guru agama” tapi pemimpin pergerakan kebangsaan yang dikemas dengan identitas Islam. Tapi, Soekarno juga menyerap ide-ide pembaruan dalam Islam yang diusung oleh Gerakan Muhamadiyah ia peroleh melalui ceramah-ceramah K H Ahmad Dahlan. “Sejak umur 15 tahun, saat berdiam di rumah Tjokroaminoto, saya telah terpukau dengan K H Ahmad Dahlan,” kata Soekarno. Tahun 1938, ia jadi anggota resmi Muhammadiyah. Bahkan di depan Muktamar Muhamadiyah tahun 1962, ia berdoa agar bisa dikubur dengan nama Muhamadiyah di kain kafannya.
Pada saat bersamaan Soekarno juga berkenalan dengan pemikiran-pemikiran sosialisme (Marxisme) dari Alimin, Muso, Semaun, Darsono serta tokoh-tokoh Sosialis Eropa misalnya Hendrik Sneevliet (orang Belanda yang dikenal dengan sebutan Maring dan ia merupakan wakil komintern di Cina), Adolp Baars, Reeser juga Hartogh.
Lalu, saat kuliah di THS Bandung, ia berkenalan dengan para tokoh Indische Partij, khususnya Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker yang jadi idolanya. Dua tokoh ini memberikan pemahaman tentang nasionalisme, pluralisme dalam wajah yang lebih radikal. Sedangkan interaksinya dengan tokoh-tokoh Persatuan Islam (Persis), khususnya Ahmad Hasan juga merangsang minatnya memahami Islam secara lebih mendalam.
Pertemanannya dengan A Hasan kian akrab saat Soekarno masuk penjara dan kemudian dibuang ke Ende Flores. Melalui hubungan surat menyurat ia mendiskusikan berbagai masalah keagamaan (Islam). Yang ia gandrungi adalah pemikiran yang berhubungan dengan modernisasi kehidupan keberagamaan. Karena itu salah satu sumber referensinya adalah kitab-kitab dari Ahmadiyah, meski ia menolak anggapan bahwa Mirza Gulam Ahmad seorang nabi serta sikap Ahmadiyah yang terlalu mengkultuskan Inggris.
Dalam tulisan “Surat-Surat dari Endeh,” terlihat adanya keyakinan kuat dalam diri Soekarno terhadap eksistensi Tuhan. Ia percaya agama dapat berfungsi sebagai enerji menuju kemajuan. Tapi sebaliknya, ia mengeritik kehidupan keberagamaan yang jadi penghambat kemajuan di masyarakat. Menurut Soekarno, itu terjadi karena nilai-nilai ajaran agama, telah disimpangkan oleh para pemuka dan jemaahnya dengan mengatasnamakan agama. Kehidupan keberagamaan (Islam) yang menyimpang akibat lebih mengagungkan fiqh atau fikih, yan ia sebut Islam Sontoloyo.
Karena itu, ia senantiasa menganjurkan agar ada ijtihad untuk mengeksplorasi nilai-nilai Islam langsung dari sumbernya yakni Qur,an dan Hadist. Tapi ijitihad itu harus berorientasi kepada kemajuan. Bukan seperti Wahabi yang menghendaki pemurnian agama tapi terlalu mengagung-agungkan masa lalu. “Masa lalu memang indah tapi ia sudah mati,” kata Soekarno.
Soekarno juga menganjurkan agar dilakukan pengujian terhadap sumber-sumber yang jadi pegangan dalam beragama “Saya ingin sekali membaca lain-lain buah pena saudara… Saya perlu kepada Bukhari dan Muslim itu, karena di situlah dihimpunkan hadis-hadis yang dinamakan sahih. Padahal saya membaca keterangan dari salah seorang pengenal Islam bangsa Inggris, bahwa Bukharipun masih terselip hadis-hadis yang lemah. Diapun, menerangkan bahwa kemunduran Islam, kekunoan Islam, ketakhayulan orang Islam, banyaklah karena hadis-hadis lemah itu, yang lebih sering ”laku” daripada ayat-ayat Al-Quran . . .” (Surat-Surat Dari Ende di dalam DBR Jilid I).
Dengan melihat sejarah, khususnya pasang surut dan pasang naik kekuatan Islam, Soekarno memandang perlu pemisahan urusan negara dengan urusan agama. Dengan pemisahan urusan itu, negara dapat mendorong kehidupan keberagamaan yang dinamis. Disatu pihak kehidupan beragama bisa diatur dan disusun agar tidak merusak persatuan bangsa, kehidupan beragama mesti menjamin kesetaraan antar sesama manusia, ia tidak boleh menjadi alat penindas sesama, tetap berpihak kepada kepentingan masyarakat luas dan mampu mewujudkan keadilan bagi semua.
Dalam tulisannya berjudul “ Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dengan Negara” yang terbit di tahun 1940 terkait dengan keputusan Kemal Attaturk di Turki), Sukarno berpandangan bahwa agama adalah aturan-aturan spiritual, sedangkan negara merupakan urusan duniawi. Ia pun mengutip Halide Edib Hanoum, bahwa :
“. . . Agama itu perlu dimerdekakan dari asuhannya supaya menjadi subur. Kalau Islam terancam bahaya pengaruhnya di atas rakyat Turki, maka itu bukanlah karena tidak diurus pemerintah tetapi justru diurus oleh pemerintah. Umat Islam terikat kaki-tangannya dengan rantai kepada politiknya pemerintahan. Hal ini adalah suatu halangan besar sekali buat kesuburan Islam di Turki dan bukan saja di Turki, tetapi di mana-mana saja, karena pemerintah campur tangan di dalam urusan agama, di situ menjadikan ia satu halangan besar yang tak dapat dienyahkan.” (lihat DBR Jilid I).
Pemisahan urusan agama dengan urusan negara ini kembali dipertegas oleh Presiden Soekarno saat berpidato di Amuntai dan juga pada beberapa forum lainnya.
Dengan mempelajari dan mendalam “alam pikir” dari setiap paham itu, Sukarno pun berkata : “Saya bukan seorang nasionalis. Saya bukan seorang religius. Saya bukan seorang sosialis. Saya adalah saripati dari ketiganya.”
—————————-
(1). Terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah “ Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( BPUPKI)
(2) Lihat “ Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I”
(3) Sintesa tertinggi dari ajaran-ajaran itu.
(4) Ernest Renan adalah seorang pemikir orientalis Perancis. Ia yang pertama kali memperkenalkan konsep bangsa dan kebangsaan melalui pidato ilmiahnya yang terkenal di Sorbone tahun 1882, “qu’est ce qu’une nation” (Apakah suatu bangsa itu?).
(5) Otto Bauer adalah seorang pemikir dan teoritikus dan aktivis Partai Sosial Demokrat Austria.
(6). Ilmu Bumi Politik yang mengaitkan letak geografis suatu kawasan dengan kekuatan dan kekuasaan. Teori ini mulai muncul pada abad XVII. Beberapa pemikir terkenal geopolitik di antaranya Karl Haushofer (1869-1946) dengan teori Pan Region-nya, membagi dunia atas empat kawasan, yakni Pan Amerika, Pan Asia Timur,Pan Rusia-India, dan Pan Eropa-Afrika. Sir Halford Mackinder (1861-1947) membagi dunia dalam apa yang disebutnya sebagai Daerah Jantung (Hearthland), yaitu Kawasan Timur Tengah. Pemikir Geopolitik lainnya,Nicholas J.Spykman (1860-1943) yang terkenal dengan Teori Daerah atas (Rimland Theory).
(7) Mengenai konsep Bangsa, Soekarno tampak sejalan dengan pendapat Jean Jaures, pemikir Italia, yang menghubungkan bangsa dan kemanusiaan yang universal serta tanah air (Patria). Menurut Soekarno, seorang nasionalis dengan sendirinya adalah patriot (cinta tanah air). Soekarno memberikan nilai teologis dengan menegaskan bahwa “Hubbul wathon minal iman” yang artinya mencintai Negara bagian dari iman yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai hasil pemikiran Bung Karno dan umat Islam Indonesia. Kata-kata itu tak akan ditemukan di kitab-kitab kuning, kitab putih atau kitab apalah yang sebagainya itu.
(8) Lihat “ To Bulid World Anew (Membangun Dunia Baru): Pidato Presiden Soekarno di depan sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa tahun 1960.
(9) Penjelasan tentang “Negara Bertuhan” diuraikan oleh Presiden Soekarno dalam pidato berjudul “Temukan Kembali Api Islam,” yang diucapkan pada penerimaan gelar Doctor Honoris Causa dalam ilmu Ushuluddin jurusan Dakwah dan gelar Pendidik Agung di IAIN Jakarta, 2 Desember 1964. Pada pidato itu ia menjawab pertanyaan : Mengapa negara bertuhan? Apakah negara punya jiwa? Jawab Soekarno: “Pengertian saya tentang Ushuluddin, ialah segala yang kumelip di dunia ini, ya manusia, ya binatang, ya pepohonan, ya gunung, ya laut, ya negara harus menyembah kepeda Tuhan. Segala yang kumelip di dunia ini harus sebenarnya mengerti bahwa Tuhan yang membuat dia, dia harus menyembah kepada Tuhan itu. Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Seru sekalian Alam. …….. Karena itu dengan keyakinan saya berkata, Negara yang tidak menyembah kepada Tuhan, negara yang tidak bertuhan, akhirnya celaka, lenyap dari muka bumi ini.”
(10) Sifat dapat memahami pendapat yang lain (bahasa Belanda)
(11) Tidak sabar, maksudnya dengan pemaksaan (bahasa Belanda)
(12) Raja Singaraja adalah paman dari Ida Ayu Nyoman Rai, ibunda Soekarno
(13) Theosofi berasal dari bahasa yunani, dari asal kata “Theo” yang artinya Tuhan, “Sofia” yang artinya Kearifan atau kebijaksanaan. Secara estimologis Theosofi dimaknai sebagai Kearifan Tuhan atau Kearifan Ilahiah (God’s Wisdom atau Odelyk Wysheid).Dalam perkembangannya Theosofi termasuk kedalam terminologi filsafat yang membahas tentang Tuhan dari segala aspeknya. Dengan demikian ia sebagai sebuah pengetahuan namun bukan merupakan sebuah disiplin ke-Ilmuawan secara khusus, tetapi masuk kedalam ruang lingkup Ilmu Filsafat, khususnya filsafat Ketuhanan dan segala aspeknya Karena Theosofi sebagai sebuah pengetahuan filsafat khususnya tentang filsafat ketuhanan, maka pengetahuan tentang mistisisme, spiritualitas, sufisme dan tasawuf dalam Islam termasuk kedalam ruang lingkup Theosofi, sebab konten dari mistisisme, spiritualitas, sufisme dan tasawuf sangat kaya akan khasanah-khasanah kearifan Tuhan, kebijaksanaan Tuhan dan cinta akan ketuhanan. Teosofi masuk ke Indonesia pada awal abad-20an, Beberapa tokoh pergerakan nasional diketahui pernah tergabung dalam gerakan Teosofi ini, utamanya para aktifis Budi Utomo dan para Priyayi Jawa. Contohnya adalah Raden Mas Aryo Woerjaningrat (Surakarta), R.M. Toemenggoeng pandji Djajeng Irawan (Jogjakarta), Pangeran Pakoe Alam VII (Jogjakarta), Radjiman Wediodiningrat (Surakarta), Sarwoko Mangoenkoesoemo, beberapa bupati di Jawa Barat,. Aktifis lainnya adalah Haji Agus Salim, beliau menjadi anggota aktif Kelompok Teosofi tahun 1916 dan mengundurkan diri tahun 1918. Selama bergabung, H. Agus Salim sempat menerjemahkan Kitab Suci kaum Teosofi karangan C.W. Leadbeater berjudul “Kitab Teosofi” ke dalam bahasa Melayu
(14) Menarik dalam tulisannya berjudul “ Islam Sontoloyo,” di dalam buku “ Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I” Soekarno dengan mengutip lengkap berita “Guru Mencabuli Murid-Muridnya” melalui satu ritual pengajian setiap malam jumat. Para murid diajak berdzikir dari maghrib hingga subuh. Sebelumnya, para murid itu harus meneriakkan kalimat “Saya muridnya Kiyai…. (nama kiyai itu)”. Dengan berseru demikian, katanya, Allah SWT mengampuni dosa-dosa mereka. Setiap murid perempuan, meski masih anak-anak, wajib menutup muka. Saat mengaji, mereka dipisah dari para murid laki-laki. Dimulailah pelajaran dari bab “perempuan itu boleh disedekahi”. Akan tetapi, karena perempuan tidak boleh dilihat laki-laki (kecuali suami), maka itulah mereka diwajibkan menutupi mukanya. Nah, bagaimana sang guru bisa “menyedekahi” murid-murid yang perempuan?
Di sinilah sang guru menjelaskan, perlunya para murid itu “dimahram dahulu”. Artinya, perempuan-perempuan itu mesti dinikah olehnya. Dia yang jadi kiyainya, ia juga, yang jadi pengantinnya, ia juga. Caranya? Kalau seorang murid lelaki yang punya istri. Maka pertama yang dilakukan oleh si suami adalah menjatuhkan talak tiga. Seketika juga peremuan itu dinikahkan dengan lelaki lain (kawan muridnya juga), yang kemudian menalaknya lagi hingga berturut-turut tiga kali dinikahkan dan diceraikan lagi. Keempat kalinya dinikah oleh kiyainya sendiri. Sedangkan yang gadis, tidak dinikahkan dulu, melainkan langsung dinikahi sang kiyai. Bung Karno menyebut kiyai model ini dengan sebutan “Dajal”. Dengan demikian, tiap-tiap istri yang jadi muridnya, di mata murid yang lain pun, adalah istri daripada si Dajal itu sendiri. Di surat kabar Pemandangan dikisahkan bahwa seorang gadis yang sudah dinikahi, dimasukkan ke bilik dan di situlah dirusak kehormatannya. Halal, dianggap sah, karena sudah diperistri! Menurut Soekarno jikalau berita di suratkabar Pemandangan itu benar, maka benar-benarlah ini adalah Islam Sontologo! Sesuatu perbuatan dosa dihalalkan menurut hukum fiqh. Praktek Islam Sontoloyo ibarat main kucing-kucingan dengan Tuhan. Karena itu menurut Soekarno figh bukan satu-satunya tiang keagamaan. Tiang utama terletak pada ketundukan jiwa kita kepada Allah.
(15) Di dalam sejarah, faktor kebudayaan ikut banyak berperan dalam penyebaran agama-agama dari luar ke Indonesia, sehingga tidak menimbulkan konflik di dalam masyarakat. Hal menarik, K H Abdurachman Wahid pernah melontarkan gagasan perlunya pribumisasi agama, ini perlu kajian lebih mendalam.
(1) Terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah “ Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( BPUPKI)
No comments:
Post a Comment