Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto. (jpnn) |
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristianto balik mengkritik pedas Prabowo dan pihak lain yang terus menerus mencari kesalahan dari penetapan presidential threshold. Dia tak segan menyebut lawan politik terlalu bernafsu untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini.
"Sebaliknya, dipihak lain ketika ada voting di DPR soal presidential thereshold yang hasilnya tak membuatnya puas, maka dia katakan bahwa presidential thereshold menipu rakyat. Jangan karena ambisi jadi presiden kemudian keputusan yang sah direduksi. Sekali lagi ini hanya karena ambisi," ujar Hasto melalui siaran pers yang diterima, Sabtu (29/7).
Dia menuturkan, sebagai pemenang Pemilu 2014, PDIP 'dihabisi' di parlemen saat awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Contohnya, pihak yang tidak puas dengan kemenangan Jokowi-JK, mengerahkan segala kekuatan di parlemen.
"Ada yang tak puas lalu ketidakpuasan disalurkan dengan membuat perubahan MD3. Ini fakta politik bagaimana politik tanpa etika dijalankan dengan nafsu kekuasaan semata," kata Hasto.
Sambil bercanda, Hasto menyebut apa yang disampaikannya itu bukan karena terbawa perasaan. "Ini bukan baper lho. Itu bukti sikap kita bahwa kebenaran yang akhirnya akan menang. Itulah jalan kita dan keyakinan kita," singkatnya.
Banyak memang pihak yang mengkritisi langkah pemerintah dianggap sengaja memunculkan kembali ambang batas pemilihan presiden atau presidential threshold di pemilu 2019 mendatang;
Padahal, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dari gugatan yang diajukannya terhadap Undang-Undang nomor 42 tahun 2008, sudah ditetapkan bahwa pemilu legislatif dan pemilu presiden mulai 2019 digelar secara serentak. Dengan putusan MK soal keserentakan itu, kata dia, harusnya pemerintah menghapus ketentuan ambang batas perolehan suara di pemilu legislatif sebagai syarat parpol mengusung calon presiden dan wakil presiden. "Hari gini membicarakan presidential threshold, artinya sarat kepentingan. Padahal kalau ada makin banyak capres makin baik untuk bangsa, kan makin bagus".(Effendi Ghazali/KOMPAS).
Hasto curhat dengan menyebut PDIP juga dihabisi di luar parlemen dengan isu-isu yang tidak bisa dipertanggung jawabkan. Salah satunya dengan mengaitkan partai besutan Megawati Soekarnoputri itu dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
"Jadi salah besar kalau dinilai dan dituduh bahwa PDIP sama dengan PKI karena sangat tegas dan kokoh PDIP di bawah Pancasila. Yang membuat tuduhan tak benar itu bagaikan Sengkuni dalam dunia pewayangan. Dan kita tahu siapa Sengkuni itu karena baru saja diruat di Yogyakarta" jelas Hasto. "Undang-undang Pemilu baru saja dilahirkan, disahkan oleh DPR RI. Yang kita tidak ikut bertanggungjawab. Karena kita tidak mau diketawakan sejarah," katanya.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengkritik keras penetapan Ambang Batas Calon Presiden (ABCP) atau Presidential Threshold (PT) sebesar 20-25 persen dalam UU Pemilu. Dia menyebut itu sebagai lelucon politik yang membohongi rakyat.
Prabowo mengaku dalam paripurna pengesahan UU Pemilu lalu dirinya memerintahkan seluruh kader partai Gerindra di DPR untuk keluar (walkout). Sebab, dia mengaku tidak ingin menjadi bahan tertawaan rakyat.
Kritik Prabowo ini juga ditanggapi langsung Presiden Joko Widodo dan partai koalisi pendukung pemerintahan. [merdeka].
Kritik Prabowo ini juga ditanggapi langsung Presiden Joko Widodo dan partai koalisi pendukung pemerintahan. [merdeka].
Seorang penulis teranyar di setiap tulisan kerap membuat logika pikir menjadi terseruput oleh aroma sedap minuman khas, kopi. Denny Siregar menyampaikan ulasan jarinya, berikut ini :
Tidak Mudah Berpikir Seperti Jokowi
Awalnya saya juga heran, kenapa kok Jokowi mendukung Presidensial Threshold 20 persen? Presidensial Threshold (PT) adalah ambang batas pemilihan capres. Dengan PT 20 persen itu, berarti mewajibkan syarat dukungan 20 persen kursi supaya bisa memilih Capres. Nah dengan adanya PT ini, maka tidak ada partai yang bisa memilih sendiri capres-nya. Mereka harus berkoalisi dengan partai lain. Inilah yang ditentang partai-partai kelas bantam dan kelas bulu yang terus mendesakkan bahwa PT 0 persen. Kalau PT 0 persen, maka partai manapun bisa mencalonkan capres. Kalau itu terjadi, kita bisa melihat di pilpres 2019 capresnya beragam. Mulai Rhoma Irama, Tukul, Mamah Dedeh bahkan sampe Jonru Ginting bisa jadi capres asal ada partai yang dukung.
Demokrat nafsu banget supaya PT 0 persen. Kenapa? Ya, apalagi alasannya supaya Agus anak tersayang keluarga bisa ikut nyapres. Uang ada, partai ada, apalagi yang kurang?Sayangnya, DPR akhirnya memutuskan bahwa PT harus 20 persen. Maka sibuklah partai-partai saling merapat supaya bisa memenuhi ketentuan. Dan kita melihat pak "lebaran kuda" akhirnya dengan malu-malu merapat ke pak "penunggang kuda".
Mungkin karena sama-sama hobi kuda. Kembali ke pertanyaan pertama, kenapa Jokowi kok mendukung PT 20 persen? Sebenarnya dari hitungan beberapa teman, jika PT 0 persen, maka Jokowi lebih bisa memenangkan pertarungan. Kok begitu? Ya, karena sementara ini suara untuk Jokowi solid sedangkan tokoh lain masih mencair.
Dengan PT 0 persen, maka suara pemilih akan terbagi kemana-mana dan -mungkin- setiap capres tidak akan mendapat lebih dari 30 persen suara saat pilpres nanti. Nah yang suara pemilihnya tertinggi jelas Jokowi. Dalam artian jika akhirnya PT 0 persen, maka yang diuntungkan adalah Jokowi.
Lalu kenapa Jokowi tidak memanfaatkan situasi itu dengan mendukung PT 0 persen? Ternyata jawabannya, supaya tidak terjadi dua putaran pemilu.Jokowi berusaha menghindari pemilu dua putaran karena ongkosnya sangat mahal.
Sebagai perbandingan saja, pilpres 2014 kemarin diperkirakan menghabiskan dana hampir 8 trilyun rupiah. Putaran pertama 4 trilyun rupiah, dan putaran kedua disiapkan dana 3,9 trilyun rupiah. Sayang kan dana itu dipake buat pesta demokrasi disaat kita membutuhkan dana untuk pembangunan infrastruktur? Dengan PT 20 persen, diperkirakan hanya ada dua capres yang bertarung dan Jokowi salah satunya. Jika hanya dua capres saja, maka tidak perlu lagi ada putaran kedua. Kita save dana 3,9 trilyun rupiah.
Tidak egois, itulah yang akhirnya terbersit dalam pikiran. Jokowi memikirkan banyak sisi termasuk bagaimana menyelamatkan uang negara dan pembangunan. Sedangkan yang lain masih hanya memikirkan bagaimana supaya menang. Tidak mudah berfikiran seperti itu ketika ada peluang. Seperti tidak mudahnya menyingirkan secangkir kopi dalam pikiran, walaupun dokter sudah melarang. Seruput. [denny siregar]
(Embo)
*****
No comments:
Post a Comment