Ilustrasi penelusuran Google/lensaindonesia.com |
Jadi sebenarnya bukannya tidak boleh memanfatkan Google dalam mencari informasi tertentu, termasuk informasi masalah agama. Hanya saja kita harus tahu bahwa Google bukanlah sumber ilmu agama secara langsung. Google sebuah robot mesin pencari yang mampu mencari dengan cepat beragam informasi yang berserakan di dunia maya.
Google sendiri bukan sumber informasi, tapi berfungsi sekedar memberi clue atau jejak saja, yang masih harus ditelurusi lebih lanjut, entah nanti jejak itu sampai ke tempat yang benar atau juga ke tempat yang tidak benar. Buat Google, benar salahnya informasi itu tidak ada urusan.
Maka kita tidak belajar agama dari Google, tetapi dalam kondisi tertentu dan kondisi yang terbatas, Google bisa saja dimanfaatkan untuk mencari jejak tulisan terkait dengan ilmu agama. Tentu dalam jumlah yang amat sangat terbatas sekali.
Maka kalau ada orang yang semata-mata mengandalkan ilmunya hanya dari Google saja dan sampai menjadikan Google sebagai satu-satunya sumber ilmu agama, tentu saja dari awal dia sudah keliru dan pasti sesat. Mengapa? Sebab sumber ilmu agama adalah Rasulullah SAW dan para shahabat beliau. Dan Allah SWT sama sekali tidak pernah mengirim utusan seorang nabi atau rasul yang bernama Nabi Google alaihissalam.
1. Nisbinya Kebenaran Google
Seringkali orang keliru menjadikan Google sebagai tolok ukur kebenaran. Caranya dengan melihat jumlah hasil apa yang ditampilkan Google ketika suatu masalah dicari. Padahal kebenaran itu tidak pernah diukur berdasarkan jumlah suara, sebab kebenaran tidak sama dengan demokrasi.
Sebagai ilustrasi, ada 100 orang zindiq menulis di dunia maya bahwa zina itu halal, namun hanya ada satu orang mukmin yang menulis bahwa zina itu haram. Begitu ada orang jahil mencari hukum zina pakai Google, apa yang akan terjadi? Sudah bisa dipastikan dia akan mengatakan bahwa zina tu halal.
Kok halal?
Karena dari hasil pencariannya di Google, Mbah Google ternyata berfatwa,"Zina itu halal". Dasarnya karena telah ditemukan 100 tulisan yang menghalalkan zina dan hanya ada satu tulisan yang mengharamkan zina.
Bayangkan kalau bangsa Indonesia yang rata-rata awam masalah agama hanya mengandalkan hasil pencarian di Google dalam masalah hukum-hukum agama, apa jadinya dengan agama ini?
2. Isi Dunia Maya Banyak Sampahnya
Walaupun terkesan keren, sebenarnya isi dunia maya kebanyakan berisi sampah tidak berguna. Mengapa demikian?
Karena siapa saja boleh menuliskan apa saja yang dia mau, tanpa ada batas hukum kecuali amat sedikit. Orang bisa mengupload hal-hal terkait dengan kebencian, sadisme, pornografi, SARA bahkan menawarkan perjudian dan prostitusi.
Bahkan secara bebas bisa memaki-maki pemerintah dan kepala negara tanpa risi dan risau. Padahal di alam nyata, tidak ada orang yang punya nyali untuk mencaci maki kepala negara secara terang-terangan di depan istana, apalagi kalau hanya sendirian. Biasanya beraninya kalau bergerombol ramai-ramai. Sebab kalau cuma sendirian, dia pasti takut karena bisa ditangkap dan diamankan oleh petugas keamanan.
Tetapi di dunia maya, siapa saja merasa berhak untuk mencaci maki siapapun, baik orang itu dikenalnya atau tidak dikenalnya. Pokok caci maki dan sumpah serapah adalah hal yang lumrah dilakukan di dunia maya dan rasanya seperti dijamin halal 100%, seolah-olah ada sertifikat halalnya.
Di tengah-tengah onggokan sampah dan limbah pemikiran seperti ini, Google tidak pernah peduli. Pokoknya tugasnya hanya mencari, benar atau keliru, masuk akal atau tidak, sopan atau bejat, Google tidak pernah bisa membedakannya.
3. Google Tidak Pernah Menyeleksi Kapasitas dan Otoritas Sumber Penulis
Belajar agama Islam seharusnya lewat para guru agama, yang kapasitas dan otoritas keilmuannya diakui. Dalam dunia nyata, mustahil orang yang baru masuk Islam kemarin sore tiba-tiba di pagi hari sudah jadi ulama besar, yang berani menghalalkan ini dan mengharamkan itu.
Tetapi di dunia maya, orang yang bahkan tidak pernah belajar ilmu syariah dengan benar. cuma baca-baca buku terjemahan, atau download-download tulisan entah siapa, tiba-tiba menampakkan diri menjadi mufti agung, yang fatwanya ma'shum tidak pernah salah. Dan sayangnya, sosok-sosok semacam ini jumlahnya di Google cukup banyak, bahkan sebenarnya justru mendominasi semua dunia maya.
Saya kenal begitu banyak ulama yang ilmunya luar biasa. Jelas saya jatuh kagum dan bertekuk-lutu kepada para ulama tersebut. Sayangnya, mereka dengan ilmu yang sedemikian luas itu, jarang ada yang mau menulis di dunia maya. Ilmunya sebatas dinding tempat beliau-beliau mengajar, sama sekali tidak bisa diakses oleh umat.
Sebaliknya, saya kenal dengan ribuan orang jahil pangkat dua, dalam arti jahil sejahil-jahilnya, tidak mengerti bahasa Arab, tidak bisa baca kitab, bacaannya cuma kitab terjemahan yang lebih banyak salah terjemahnya ketimbang benarnya, tidak pernah duduk di majelis ilmu, tidak kenal para ulama dengan spesialisasinya, bahkan yang menjadi aib besar adalah ketika membaca Al-Quran masih dalam taraf mengeja terbata-bata, tidak mengerti kitab referensi ilmu syariah, dan sejuta aib lainnya, ternyata merasa dirinya adalah sumber kebenaran.
Konyolnya sosok-sosok seperti ini merasa dirinya sudah sah dan resmi menjadi juru dakwah, aktifis pergerakan, dan salah satu 'dakwahnya' adalah rajin sekali menulis tanpa ilmu dan hobi memposting hoax dalam agama, aktif menulis kajian-kajian yang belum pernah seumur hidup dipelajarinya dengan benar. Kalau dia tahu, sumbernya hanya dari 'ustadz saya', 'guru saya', 'murabbi saya', hanya segitu saja.
Yang membuat saya terpingkal-pingkal adalah mereka yang 100% jahil ini pun punya murid-murid yang secara rutin 'mengaji' kepadanya. Kok ada ya orang yang mau menimba ilmu dari orang yang tidak punya ilmu?
Wallahi saya heran dan takjub. Dan lebih edan lagi, para muridnya itu pun mengangkat diri mereka sebagai sumber agama, lalu menulis pula di blog, web, FB, dan seterusnya. Kalau diungkapkan mirip dengan firman Allah SWT :
أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُّجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِّن فَوْقِهِ مَوْجٌ مِّن فَوْقِهِ سَحَابٌ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا وَمَن لَّمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِن نُّورٍ
Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun. (Qs. An-Nuur : 40)
Maka kalau mau disalahkan, sebenarnya kalau kita tahu duduk masalahnya ya jangan salahkan Google, tetapi salahkan yang menggunakan Google sebagai satu-satunya sumber dalam memahami agama Islam. Dan nomor satu, salahkan dulu mereka yang jahil tapi belagak punya ilmu lalu menulis di dunia maya.
4. Bagaimana Mengambil Manfaat Dari Google Dalam Belajar Agama?
Tentu tidak bijaksana kalau saya hanya menyalah-nyalahkan saja tanpa memberi solusi. Di awal sudah saya katakan bahwa Google tetap bisa dimanfaatkan, asalkan tahu aturan dan batasannya.
Contohnya, ketika saya butuh informasi tentang sebuah hadits yang saya tidak tahu siapa perawinya. Untuk itu Google bisa digunakan dalam batasan tertentu. Caranya, ketikkan potongan haditsnya dalam bahasa Arab, misalnya : إنما الأعمال بالنيات lalu cari.
Kita akan diberikan sekian banyak link yang bisa kita pilih oleh Google. Dari sini kecerdasan kita mulai diuji, pilih link yang mana seharusnya?
Anggaplah saya memilih sebuah situs yang menampilkan teks hadits itu. Tertulis disana informasi yang lengkap, yaitu matan dan sanadnya, lalu disebutkan adanya di kitab apa, jilid berapa dan halaman berapa. Kalau pas beruntung seperti ini, tentu bagus sekali.
Cuma satu hal yang penting untuk diketahui, level informasi itu masih terlalu rendah. Sebab kita belum membuka langsung hadits itu di dalam kitab aslinya. Kita cuma baca tulisan orang entah dia benar atau keliru tentang informasi awal mengenai hadits tersebut. Oleh karena itu level informasi dari mbah Google ini masih bersifat 'konon kabarnya' dan belum ditahqiq sesuai dengan prosedur.
Untuk itu kita wajib buka kitab rujukan yang disebutkan dalam tulisan itu dan kita tahqiq, apa benar si penulis mengatakan demikian. Dan nanti baru ketahuan seberapa hoax tulisannya.
Tetapi kadang saya kejeblos pada situs yang jelek, penulisnya pun jelek juga. Memang ada teks hadits itu dalam bahasa Arab, tapi tidak disebutkan info penting selanjutnya. Tidak ada perawinya, tidak ada kitab rujukannya, bahkan tidak jelas siapa yang menulis artikel ini. Nah, inilah bukti bahwa Google tidak sepandai yang kita kira.
Bahkan kalau lagi apes, boro-boro dapat haditsnya, yang ada cuma kumpulan link-link tidak jelas, isinya iklan dan virus yang siap menghancurkan komputer kita. Atau lebih sial lagi, kita ketemu link dari orang jahil yang menulis sesuatu tanpa ilmu, sehingga alih-alih kita dapat pencerahan malah dapat kesesatan.
Jadi kesimpulannya, informasi dari Google itu jangan dulu langsung dipercaya. Prinsipnya, tulisan hasil pencarian di Google itu harus dianggap keliru dulu dan dibuang saja dulu, sampai nanti ada sekian banyak pembanding yang mumpuni dan bisa menguatkan kebenarannya.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA
Kirim Pertanyaan : tanya@rumahfiqih.com
*Sumber: rumahfiqih.com
[malik]
No comments:
Post a Comment