Dilema, Janji Aksi 1.000 Merah-Putih malah Hitamnya Putih. Arahnya Mau Kemana? - Indowordnews

Breaking

29 July 2017

Dilema, Janji Aksi 1.000 Merah-Putih malah Hitamnya Putih. Arahnya Mau Kemana?

Janji Aksi 1.000 Merah-Putih, malah Hitamnya Putih
Ilustrasi (thinkstockphotos).
Pernah sebelumnya, Presidium Alumni 212 dalam menggelar aksi damai. Massa akan menyiapkan 1.000 bendera Merah-Putih dalam aksi itu. Hal ini diungkapkan oleh Koordinator Lapangan Aksi 28/7/17. Di muat laman detik ia mengatakan "Kita akan siapkan 1.000 bendera Merah-Putih untuk menandakan Alumni 212 cinta Indonesia," Daud. 

Namun, tidak banyak terlihat Bendera Merah Putih yang dibawa oleh peserta Aksi 287 itu. Justru dalam aksi menolak Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) ini terlihat berkibar atau lebih didominasi oleh bendera Hitam.

Dilema, Janji Aksi 1.000 Merah-Putih malah Hitamnya Putih. Arahnya Mau Kemana?
Ratusan Peserta Aksi 287 melakukan konvoi menuju Patung Kuda Monas. Mereka menuntut Perppu Ormas segera dicabut. (CNN Indonesiai).
Hanya ada puluhan bendera merah putih yang berkibar dari tengah-tengah massa aksi. Jumlah tersebut kalah jauh dengan ratusan bendera berlambang tauhid yang dibawa peserta aksi. Peserta aksi kali ini bahkan membawa bendera berlambang tauhid dalam ukuran besar. Bendera besar itu digunakan untuk menutupi kepala rombongan massa aksi.

Minimnya bendera merah putih di tengah Aksi 287 bertolak belakang dengan pernyataan Koordinator Lapangan Alumni Aksi 212 tersebut di atas. Janji, merupakan tekad perbuatan dan dilaksanakan menurut kehendak sadar. Namun janji itu ternyata bukanlah milik segelintir orang. Sang penjahat pun masih punya janji, namun terkadang tidak ditepati. Kali ini, atas nama gerakan bercitrakan agama. Justeru janji pun ikut tergerus. Kemanakah janji setia akan cinta tanah air Indonesia, yang dikatakan semula?

Mungkin, sebab fakta lapangan. Massa juga terlihat tidak terorganisir dalam menjalani demonstrasi kali ini. Banyak massa yang terlihat bergerak tak seiring rombongan.

Dilema, Janji Aksi 1.000 Merah-Putih malah Hitamnya Putih. Arahnya Mau Kemana?
Massa aksi 287 mulai berkumpul di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) sang penggagas serta alumni aksi 212, Jumat (28/7/2017)/Kompas.com
Era reformasi agaknya memang melahirkan peran baru. Ini berbeda dengan aktor gerakan Islam yang lama, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Al-Washliyah, Jamaat Khair dan sebagainya. Organisasi-organisasi baru ini memiliki basis ideologi, pemikiran, dan strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas Islam yang ada sebelumnya. Mereka ditengarai berhaluan puritan (pembaharuan) dengan karakter yang lebih militan, radikal, skripturalis, konservatif, dan eksklusif.

Saat ini, NU (Kebangkitan 'Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam) yang sudah 91 tahun perkembangannya. Sebuah perjalanan panjang dengan satu tekad yang terus dipupuk, kesetiaan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NU diakui turut mengalami pahitnya penjajahan Belanda, dan pedihnya penjajahan Jepang. Kiprahnya sebagai Ormas terbesar Indonesia (pernah ikut menumpas PKI) masih kuat berpegang teguh pada khittah perjuangannya hingga jenjang internasional.

Tak mengerti khittah Muhammadiyah saat ini. Arah puritan-ismenya sangat kentara sesuai kiblat arus pemikiran Islam global. Ke timur, ke barat siap. Nyatanya, selama Aksi massa di mulai dengan Aksi 212 (konon 7 Juta Orang), Aksi 313 (konon katanya 4 Juta Orang) di situ terlihat Amin Rais bersuara lantang, Din Syamsuddin, kecuali Buya Ma'arif.

Jika Dahnil Anzar Simanjuntak atau yang akrab disapa Anin (Ketua Pemuda Muhammadiyah) justeru terlihat aktif tatkala gaung Pilkada  DKI Jakarta, yang turut mengajukan tuntutan terhadap Ahok. Pedri Kasman sebagai tumbal untuk mengajukan berkas laporan dan menjadi saksi di persidangan. Jadi, kita paham arah Muhammadiyah saat ini kemana?

Mengutip sebuah catatan ringkas hasil Seminar “Membaca Islam Indonesia Paska Aksi Damai 212” dengan mengundang para pakar untuk berbincang tentang fenomena ini dengan menghadirkan analisis yang memperkirakan atau meramailkan ke arah mana Islam Indonesia akan bergerak di masa mendatang.

Setelah 18 tahun usia reformasi, tepatnya di penghujung tahun 2016, muncul sebuah corak baru perkembangan budaya organisasi Islam berwajah tak biasa. Perubahan tersebut bisa dilihat dari gerakan aksi damai 411 (November 2016) dan 212 (Desember 2016) yang menghadirkan wajah masyarakat musim yang berbeda dari sebelumnya. Siapa pun bisa saja membaca gerakan puritanisme atau revivalisme yang berkembang pasca reformasi, namun banyak pakar sosial yang belum bisa membaca model baru masyarakat muslim di era ini. Ini menandakan bahwa masyarakat muslim di era reformasi sangat dinamis, namun juga terdapat kemungkinan sebagai tanda bahwa umat Muslim tengah bergerak ke arah yang berbeda dari organisasi masyarakat tradisional semisal NU dan Muhammadiyah. Dalam fenomena baru itu, bukan saja tidak ada figur tunggal namun juga identitasnya sangat cair.

Pertanyaan lebih subtantif adalah apakah pendulum gerakan Islam sedang berayun menuju Indonesia yang makin konservatif, beragama secara lebih monolitik, intoleran dan menguatnya sentimen anti-Cina? Atau apakah ada bacaan lain yang memperlihatkan sikap umat yang lebih peduli pada isu-isu yang dianggap masalah dalam hubungan-hubungan sosial kebangsaan sekaligus mempertanyakan sikap dan ketegasan negara?

MUI lebih banyak didekati oleh kelompok-kelompok ‘kanan’, jarang sekali kelompok-kelompok pembela HAM, feminis, dan kelompok-kelompok progresif lain yang datang untuk sekedar bersilaturrahim dengan MUI. Bisa jadi, fatwa-fatwa MUI yang belakangan lebih banyak memihak kepada kelompok-kelompok ‘kanan’ itu karena tidak adanya pendekatan dari kelompok-kelompok progresif.

Counter terhadap penafsiran kitab suci tidak selalu efektif. Sebab banyak orang yang menjadi radikal/intoleran bukan karena terideologisasi oleh kitab suci, tetapi karena perasaan sosial ketertindasan: Islam tertindas dan terzhalimi. Makanya counter naratif harus dilakukan bukan hanya pada tafsir-tafsir atas kitab suci, tetapi juga atas realitas, sosial, ekonomi, politik. Selain itu, pandangan keagamaan moderat masih sangat minim, terlihat misalnya dengan maraknya website-website kelompok-kelompok Islamis di internet.


Aspek penguatan nilai. Dalam hal ini pemerintah harus membuat kebijakan dan menjalankannya secara lebih serius mengenai kebhinnekaan dan toleransi. Hal ini bisa diterjemahkan ke dalam kebijakan yang memastikan bahwa kurikulum-kurikulum di bawah Kementerian Pendidikan Nasional betul-betul mendukung kebhinnekaan, toleransi, dan anti-diskriminasi. Pemerintah juga harus memastikan setiap lembaga birokrasi dan aparatur negara menjalankan sistem non-diskriminasi.

(embo)

No comments:

Post a Comment