Apakah orang Indonesia yang tidak berbicara bahasa itu ada di negara ini? - Indowordnews

18 December 2017

Apakah orang Indonesia yang tidak berbicara bahasa itu ada di negara ini?


.com/blogger_img_proxy/
EZARIDHO IBNUTAMA
JURUSAN KIMIA, YANG CINTA MENULIS DAN MEMBACA
speaks+english
Tapi di usia muda, saya ingat bahasa Inggris lebih banyak ditanamkan dari pada Indonesia. (Shutterstock / File)
Kenangan pertama yang ku alami adalah saat aku terbangun di tempat tidurku, dan dari kamar bayi aku turun ke kamar ibuku. Meskipun saya tidak ingat apa yang saya katakan, saya ingat kami berbicara satu sama lain terutama dalam bahasa Inggris. Ibuku bukan orang asing dan juga kakek-nenekku. Dia sepenuhnya orang Indonesia.

Tapi di usia muda, saya ingat bahasa Inggris lebih banyak ditanamkan di keluargaku dari pada bahasa Indonesia.

Keluargaku tidak tinggal di negara berbahasa Inggris dan keluarga saya memiliki kemampuan berbahasa Inggris lebih tinggi daripada bahasa Indonesia. Namun saya diajarkan untuk belajar bahasa Inggris dan dikirim ke sekolah-sekolah berbahasa Inggris untuk memperkuat bahasa Inggris sebagai bahasa utamaku.

Saya tidak tahu mengapa orang tua saya memilih untuk melakukan ini, apakah pilihan itu berdasarkan ekonomi atau pendidikan. Tapi kebijakan itu dilakukan, dan sekarang, saya pergi ke restoran dan ke toko-toko berbahasa Indonesia gagap atau mendengar bahasa Inggris yang pasih oleh karyawannya. Karyawannya secara seksama memperhatikan ku seperti aneh. "Sombong [sok]," bisik mereka itu pada sesama mereka.

Jadi membuat saya terlihat agak canggung untuk mencegah hal itu terjadi setiap kali. Tapi mereka yang bisa melihat orang Indonesia sejati jarak satu mil jauhnya mengangkat alisnya (tanda bangga) setiap kali kita membuka ruang dialog. Saya mencoba untuk menanggapinya dalam gagapnya bahasa Indonesia saya, tapi mereka terkikik-kikik, yang selalu membuat saya geram karena malu dan frustrasi. Saya telah mengadopsi aksen asing, banyak yang bilang.

Hambatan bahasa antara budaya saya dan saya sendiri juga menciptakan gelembung sendiri. Saya selalu tertarik dengan sejarah negara ini - sekarang dan atau kuno. Ada banyak cerita rakyat karena ada budaya, yang bisa menjangkau ratusan atau ribuan orang.

Tapi setiap buku yang saya baca perihal budaya saya juga selalu berbahasa Inggris. Dan semuanya ditulis dari sudut pandang oleh negara luar. Sulit untuk menemukan buku terjemahan lokal yang membahas budaya Indonesia dan sejarah negara sendiri.

Kadang saya merasa sangat terisolasi setiap kali pulang ke negara ini, karena hambatan bahasa tersebut. Dan saya merasa bahwa banyak warga Indonesia yang tinggal di pusat perkotaan juga merasakan dinding tak kasat mata yang mencegah komunikasi yang nyaman.

Perjuangan saya untuk benar-benar belajar tentang warisan budaya bukan karena saya mengikuti filosofi nasionalistik (jauh dari itu). Saya menghadapi tantangan untuk mempelajari warisan saya karena ketidaktertarikan yang pesat dalam budaya negara di antara generasi muda kita.

Masyarakat kita, yang memiliki sedikit daya beli, kok malahan telah menjadi sangat-sangat konsumtif. Dan melalui impor entertainment (hiburan) dan media luar (gadget, medsos, dll,-pen), ada tanda-tanda yang nyata mengarah pada tradisi kita sendiri yang hampir mati sebagai akibat dari masa depan kita menjadi lebih mirip dengan budaya lain. Agama juga telah mengambil alih (dan agak terhalang) evolusi budaya negara; ini pun dipenuhi dengan respon sikap yang ambivalen (bertolak belakang).

Saya percaya bahwa buku bacaan budaya dari perspektif lokal perlu diterjemahkan lebih lazim untuk semakin banyaknya anak muda yang tidak dapat terhubung dan memahami budaya dan bahasa negara mereka sendiri.

Anehnya, baru-baru ini ada sebuah wawancara yang berfokus pada pasangan Australia yang merupakan aktor dalam produksi teatrikatif sebuah legenda Indonesia. Bahasa Indonesianya juga pasih. Tapi hal yang mengejutkan saya adalah bahwa mereka menunjukkan ketertarikan pada budaya Indonesia dan bersedia untuk berbagi budaya asing dengan khalayak ramai.

Konservasi dan penyebaran (diseminasi) budaya Indonesia tidak dilakukan oleh penduduk setempat tapi oleh orang asing yang benar-benar bergairah tentang sejarah negara kita. Kebenaran yang menyedihkan saya adalah saya lebih cenderung percaya bahwa tradisi Indonesia sebagian besar dilindungi dan dilakukan oleh orang asing.

Sikap saya terhadap budaya Indonesia bukanlah salah satu penghinaan atau rasa malu, tapi penghinaan dan rasa malu adalah emosi yang saya rasakan tentang bagaimana penduduk setempat telah mengesampingkan budaya untuk memberi jalan bagi kemajuan ekonomi dan ilmiah dangkal negara kita. Mereka mengabaikan fakta penting bahwa budaya dapat dikapitalisasi untuk menarik wisatawan dan investor asing untuk datang ke negara tersebut. Tapi dengan bangunan budaya Indonesia yang digantikan oleh mal perbelanjaan mewah raksasa, apakah ada anak muda lain yang mendukung penggantian ini atau apakah mereka menentangnya?

Meskipun saya seorang warga biasa di negara sendiri karena bahasa utama saya, tidak ada alasan bagi saya untuk membenci warisan saya sendiri - walaupun banyak yang mengklaim bahwa saya melakukannya. Dan ketika saya mencoba menjelaskan hal ini kepada siapapun yang saya jumpai, mereka langsung mengangkat alis mereka karena mereka tidak mengerti dialek bahasa Indonesia saya. (kes)

***

Ezaridho Ibnuutama Jurusan Kimia, tapi juga suka menulis dan membaca. Seorang pencinta buku yang menganggap Hemingway's 'The Old Man and the Sea' (orang tua dan laut) sebagai favorit, Ezar menggambarkan dirinya sebagai seorang cinephile (gemar menyanyi) -Thejakartapost.
---------------
[tya/indowordnews]