Agresivitas Hutang, Fadli Zon: Semangat Trisakti Jokowi Hanya Pepesan Kosong? Apa maksudnya - Indowordnews

Breaking

06 January 2018

Agresivitas Hutang, Fadli Zon: Semangat Trisakti Jokowi Hanya Pepesan Kosong? Apa maksudnya

Agresivitas Hutang, Fadli Zon: Semangat Trisakti Jokowi Hanya Pepesan Kosong? Apa maksudnya
Plt. Ketua DPR RI Fadli Zon. foto:arief/afr
Semangat Trisaksi yang digaungkan pemerintahan Presiden Jokowi dinilai hanya pepesan kosong. Sebab, pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah tidak sesuai dengan semangat Trisakti.

Demikian disampaikan Plt Ketua DPR Fadli Zon, melalui pesan singkatnya, Jakarta, Jumat (5/1). Menurutnya, pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah bergantung utang. Padahal, salah satu doktrin Trisakti Bung Karno yang selalu dikutip pemerintah adalah berdikari secara ekonomi.

Dipaparkan Hendri, arti penting semangat Trisakti yang dicetuskan Bung Karno itu semakin terlihat karena dunia saat ini menghadapi perang di bidang sumber daya alam (SDA) untuk menghadapi krisis pangan dan energi.

Berbicara semangat Trisakti yang pernah diajarkan Bung Karno saat ini hampir diadopsi seluruh negara di dunia dalam mengatasi krisis global. Kemandirian ekonomi telah disadari menjadi solusi untuk keluar dari krisis.
Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno dalam Pidato Trisakti tahun 1963 menegaskan:
1. berdaulat secara politik
2. berdikari secara ekonomi
3. berkepribadian secara sosial budaya

Dalam bidang kemandirian politik, Soekarno telah berhasil memperjuangkan Pancasila sebagai kemandirian bangsa Indonesia dengan memiliki ideologi negara sendiri. Soekarno juga telah berhasil mempertahankan persatuan dengan menumpas setiap pemberontakan yang terjadi seperti Permesta, PRRI, DI/NII, dan persoalan Papua. Hanya saja karena kurangnya kemandirian dalam persoalan persenjataan, Soekarno cenderung mendapatkan pasokan senjata dari Rusia, sehingga ideologi komunis berkembang di Indonesia yang puncaknya adalah pertistiwa gerakan 30S/PKI.

Sedangkan dalam politik luar negerinya, Soekarno menerapkan politik bebas aktif di mana tidak berpihak pada salah satu blok dunia, sosialis atau kapitalis, namun ikut proaktif dalam mendorong terciptanya perdamaian dunia. Dalam politik ini, Soekarno berhasil mengadakan Konferensi Asia-Afrika (KAA), namun karena negara-negara yang hadir memiliki afiliasi politik terhadap kekuatan Komunis, sehingga kemandirian politik yang dicita-citakan makin bias, terlebih lagi ketika terjadi konfrontasi dengan negara Malaysia.

Ketika itu yang dianggap penyelewengan ideologis, adalah banyaknya konsepsi Presiden Soekarno yang diletakkan lebih tinggi dari Pancasila. Misalnya, Nasakom dan Manipol-Usdek. Pidato-pidato Soekarno saat itu, kerap dianggap menggeser kedudukan Pancasila sebagai dasar negara. Meskipun, Soekarno sendiri berpendapat konsep-konsep itu merupakan penjabaran Pancasila [baca lagi].

Namun menurut Fadli Zon, bagaimana mandiri secara ekonomi bisa tercapai, kalau utang membuat Indonesia semakin bergantung dan terjerat. Fadli menegaskan, utang luar negeri bisa juga dilihat sebagai bahaya imperialisme.

Menurutnya, pemerintah harus mengurangi agresivitas dalam berutang. Ukuran yang sehat untuk menilai normalitas utang bukanlah rasionya terhadap PDB, tapi bagaimana kemampuan kita dalam membayar, serta apa dampak utang bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat.

"Pada tahun 2014, posisi utang kita masih di angka Rp 2.604,93 triliun. Akhir 2017, jumlah utang kita telah berada di angka Rp 3.928,7 triliun. Jadi, selama tiga tahun pemerintahan Pak Jokowi, utang kita telah bertambah Rp 1.324 triliun," kata Fadli di kutip pada jurnas.com.

"Jika dihitung dengan nilai PDB Indonesia sebesar Rp 12.407 triliun, maka rasio utang pemerintah pusat hingga November 2017 ini sekitar 28,9 persen dari PDB,” terangnya.

Kemampuan membayar utang, kata Fadli, bisa dilihat dari angka keseimbangan primer. Dalam buku teks ekonomi, keseimbangan primer adalah jumlah pendapatan negara dikurangi jumlah pengeluaran negara di luar pembayaran cicilan utang.

"Jika keseimbangan primer negatif, bisa dipastikan bahwa pemerintah harus membayar cicilan utang dengan menarik utang baru. Sepanjang tiga tahun pemerintahan Jokowi, keseimbangan primer kita selalu defisit. Padahal, pada periode 2004 hingga 2011, keseimbangan primer kita sebenarnya selalu surplus,” tutur politisi F-Gerindra itu.

Selain mengabaikan kemampuan bayar, Fadli menilai pemerintah juga sepertinya mengabaikan soal waktu jatuh tempo (debt maturity) yang sebenarnya makin menekan Indonesia. Pada tahun 2015, pembayaran kewajiban utang Pemerintah mencapai Rp 155 triliun, lalu Pada tahun 2016 dan 2017, angkanya berubah menjadi Rp 191,2 triliun dan Rp 219 triliun. Menurut Kementerian Keuangan, pada 2018 utang jatuh tempo mencapai Rp 390 triliun, dan pada tahun 2019 angkanya menyentuh Rp 420 triliun.

“Besar sekali angkanya. Bukti bahwa pembayaran utang beserta bunganya ini telah menekan APBN kita bisa dilihat pada tahun 2017 kemarin, dimana untuk pertama kalinya dalam sejarah belanja subsidi pemerintah lebih kecil jika dibandingkan pembayaran kewajiban utang pada tahun yang sama. Ini menurut saya sangat ironis,” tegas Fadli.

Fadli menilai, pemerintah cenderung menerapkan strategi ‘front loading’ dalam berutang, alias berutang banyak lebih dulu meskipun kebutuhannya belum didefinisikan. Cara ini dianggap pemerintah lebih murah untuk mendapatkan ‘cash flow’. Namun, risikonya pertumbuhan jumlah utang kita jadi mengalami akselerasi.

Mengurai maksud Fadli di atas, bahwa memang ada keinginan keras pemerintah Jokowi-JK untuk mengungguli prestasi pemertintah sebelumnya sehingga begitu banyak daftar proyek yang ingin dibangun dan yang harus dibiayai. Bahkan dalam program ekonominya pemerintah Jokowi-JK menargetkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 % selama 5 tahun sampai 2019. Maka digunakan strategi “Front Loading” atau memuat dana berlimpah di awal.

Jadi kebutuhan dana satu tahun atau periode itu ditumpuk dana di empat bulan pertama (Januari-April) sudah dipenuhi 70-80 % dari kebutuhan dana satu periode/tahun maka kebutuhan dana dipenuhi secara agresif dengan menarik utang luar negeri atau menerbitkan Surat Utang Negara (obligasi negara yang tentunya juga harus segera diimbangi dana untuk pembayaran angsuran pokok dan bunga [baca disini].

Fadli menghimbau agar agresivitas pemerintah dalam berutang harus dikontrol.

Dikutip dari dpr.go.id, Fadli menyampaikan sebagai sebuah gambaran, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama pemerintahan Presiden Joko Widodo hanya sekitar 5 persen, namun pertumbuhan utangnya mencapai 13 hingga 14 persen per tahun. Menurut laporan pemerintah, realisasi defisit tahun 2017 tercatat Rp 345,8 triliun. Secara nominal, realisasi defisit tersebut memang lebih rendah ketimbang realisasi defisit tahun 2016, yang mencapai Rp 367,7 triliun.
Lanjut Fadli, “Ke depan, kita harus mengontrol perilaku pemerintah dalam berutang ini. Itu sebabnya saya sering mengatakan hanya program yang berimplikasi langsung terhadap kesejahteraan rakyat saja yang mestinya jadi prioritas pemerintah," katanya. "Anggaran infrastruktur yang tidak perlu sebaiknya segera direvisi. Jangan sampai anggaran publik kita ke depannya digerogoti untuk membayar utang, bukannya untuk meningkatkan ekonomi rakyat,” pungkas politisi asal dapil Jawa Barat itu.
lustrasi. (ANTARA FOTO/Prasetyo Utomo)
Sebenarnya, pemerintah Jokowi-Jk menggunakan strategi front loading ini yakni penerbitan surat berharga negara (SBN) atau penarikan utang di semester I-2017 dilakukan guna mengantisipasi jika ada gejolak yang terjadi di semester selanjutnya. Lagi pula, biasanya di semester ke II banyak uang yang sudah digunakan, sehingga lebih baik menarik utang di awal.

Dirjen Pengeloalaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Robert Pakpahan porsi front loading 60 persen dari target bruto penerbitan SBN sebesar Rp597,03 triliun atau sebesar Rp358,22 triliun.

"Front loading akan tetap dieksekusi, porsinya 60 persen dari target gross," kata Robert, dalam acara investor forum di Hotel Westin, di lansir dari ekonomi.metrotvnews.com.

Dirinya menambahkan, menjelaskan, sebesar 44,6 persen dari gross atau Rp266,26 triliun berdenominasi mata uang domestik. Sementara sisanya 15,4 persen atau Rp97,91 triliun merupakan mata uang valas yang terdiri dari USD, Euro, serta Yen Jepang.

Sementara jika dirinci jumlah SBN bruto terdiri dari SBN netto sebesar Rp399,99 triliun untuk menutupi defisit anggaran 2,41 persen, ditambah untuk membayar utang yang jatuh tempo di tahun depan Rp164,02 triliun, SBN cash management sebesar Rp30 triliun serta rencana buy back Rp 3 triliun.

------

[malik&embo]


No comments:

Post a Comment