Komite PK diketuai oleh mantan Pimpinan KPK periode 2011-2015, Mas Bambang Widjojanto. Komite ini dibentuk berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 196 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Nomor 187 tentang Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan. pic.twitter.com/cajnxRTcEz— Sandiaga S. Uno (@sandiuno) 3 Januari 2018
Siapa Nursyahbani Katjasungkana?
Nursyahbani, kedua dari kiri, Anggota TGUPP bidang pemberantasan korupsi DKI Jakarta era Anies-Sandi. |
Selain itu, adalah seorang pengacara feminis dan advokat hak asasi manusia perempuan. Pada tahun 1995, dia mendirikan Women's Association for Justice (APIK) dan mendirikan lembaga Bantuan Hukum Wanita di Jakarta, yang anggotanya awalnya direkrut dari mantan klien dan korban selamat dan dilatih sebagai paralegal. Selama reformasi tahun 1998, bersama beberapa aktivis perempuan lainnya, Nursyahbani mendirikan Koalisi Perempuan untuk Keadilan dan Demokrasi Indonesia, organisasi perempuan berbasis massa pertama di negara ini sejak tahun 1965, dan terpilih sebagai Sekretaris Jenderal pertamanya. [Dalam, wikipeacewomen.org:'“Strengthening and empowering the community is the key to change.”']
Ketika Nursyahbani Katjasungkana memulai karirnya sebagai pengacara dan direktur Bantuan Hukum Wanita Jakarta pada tahun 1987, profesinya adalah bidang yang didominasi laki-laki dan ungkapan seperti "hak perempuan", "feminisme" dan "kekerasan terhadap perempuan" bukan bagian dari bahasa. Tapi sejak dini, pengacara muda tersebut mengetahui status hukum perempuan dan hak perempuan Indonesia yang buruk. Hal ini menyebabkan dia menemukan Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (APIK) dan Bantuan Hukum Perempuan untuk Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) pada tahun 1995.
Pendiri Jaringan Kartini, gender dan Studi Perempuan di Asia ini terkenal vokal dalam membela hak-hak minoritas gender lainnya seperti lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT).
Selain itu, Nursyahbani juga getol dalam menyuarakan tentang PKI dan menuntut pemerintah untuk meminta maaf karena dianggap telah melakukan kejahatan kemanusiaan. Beliau ini tergolong 'Prempuan Indonesia yang Anti Korupsi.
Foto: facebook.com/nursyahbani |
Nursyahbani Katjasungkana hadir dalam acara tersebut, bersama Ketua YPKP 65-66 Bejo Untung, Komisioner Komnas HAM Nur Khoiron, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi Korban AH Semendawai, Komisioner Komnas Perempuan Soraya Kamaruzzaman, dan Feri dari Kontras.
Namun, acara tersebut dibatalkan. Sebab, ada protes dari warga Kelurahan Bukik Cangang Kayu Ramang, Kecamatan Guguak Panjang, Kota Bukittinggi.
Nursyahbani juga pernah berniat untuk mengajukan sidang pengadilan HAM kasus PKI dalam International People’s Tribunal. Sidang tersebut digelar pada November 2015 lampau di Den Haag, Belanda. Sikap tersebut kemudian mendapat kecaman dari sejumlah pihak, salah satunya dari Sejarawan Anhar Gonggong.
Anhar mengecam keras langkah Nursyahbani tersebut. Menurut Anhar, digelarnya pengadilan kasus 1965 di Den Haag merupakan kebodohan sejarah. Untuk itu, jika ada orang Indonesia yang ikut serta dalam pengadilan tersebut maka dia anggat tak memiliki nasionalisme.
Selain Anhar, kecaman juga datang dari pengamat hukum internasional Universitas Jendral Soedirman, Prof Ade Maman Suherman. Menurut Ade, sikap Nursyahbani sama saja mempermalukan bangsa Indonesia.
“Setelah tidak berhasil membujuk pemerintah Indonesia untuk meminta maaf, lalu dia pergi ke luar negeri agar diakui masyarakat internasional,” kata Ade.
Meski mendapat tentangan, Nursyahbani bersikeras dengan sikapnya menghadiri International People’s Tribunal tersebut. Dia mengaku tidak takut “mati” membela PKI, dan tetap akan berangkat ke Belanda.
Nursyahbani sendiri bertindak sebagai koordinator Umum Penyelenggara International People’s Tribunal di Belanda itu.
Nursyahbani berangkat ke Den Haag bersama pengacara Todung Mulya Lubis. Mereka akan melawan pemerintah Indonesia di hadapan 7 orang hakim, 6 jaksa dari manca negara.
Pengurus Suara Kita
Dalam hal memperjuangkan feminisme dan LGBT, Nursyahbani adalah pengurus dari organisasi ‘Suara Kita.’ Dia menjadi salah satu Dewan pengawas dan Dewan Pengurus organisasi tersebut untuk periode 2015 hingga 2020, bersama Irwan Matua Hidayana (Dosen Anthropologi dan Kajian Gender Universitas Indonesia), D’carlo Purba ( Adra Indonesia), Harry Kurniawan (Reutgers WPF), Ikram Baadillah (Dosen UNILA). (Baca: Malam Ramah Tamah SuaraKita).
Dilansir dari Fans Page Facebook resmi ‘Suara Kita’, organisasi ini memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi LGBT sebagai warga negara, melalui pendidikan, media, kebudayaan dan perubahan kebijakan.
‘Suara Kita’ memiliki visi terwujudnya kesetaraan dan keadilan bagi LGBT sebagai warga negara Indonesia.
Selain itu mereka mereka juga memiliki misi antara lain mengembangkan pengetahuan publik tentang LGBT melalui media informasi, pendidikan kritis kebudayaan dan perubahan kebijakan, serta memperkuat jaringan untuk memperjuangkan kebijakan publik yang berpihak pada LGBT.
‘Suara Kita’ sendiri perpanjangan dari ‘Our Voice’, dimana website ‘Our Voice’ (www.ourvoice.or.id) kemudian diblokir oleh Kemenkominfo pada Mei 2013 lampau. Hingga kemudian ‘Our Voice’ diubah menjadi ‘Suara Kita’ (www.suaraKita.org).
Situs ‘Our Voice’ yang kemudian berubah menjadi ‘Suara Kita’ cukup rutin menyampaikan propaganda LGBT. Mulai dari menghelat kuliah umum, menerbitkan selebaran, film, bikin media.
Dilansir Republika.co.id, pada 2013 ‘Our Voice’ mendapat pendanaan dari lembaga Hivos Belanda, Indonesia Aids Coalition (IAC) dan Ford Foundation. Pada 2013, dana Our Voice Rp 344.269.581. Sumber dana HiVOS sebesar Rp 278.761.136; dan IAC sebesar Rp 57.402.445. Lalu, dari kegiatan fundraising terkumpul dana sebesar Rp 8.106.000. Demikian yang tertulis dalam dokumen laporan tahunan organisasi ini.
Baca Sumber, jurnalpolitik.id
Berita Unik di Tahun 2018, kemanakah arah angiiinn?? Jilid-jilid yuukk...
[embo]
No comments:
Post a Comment