Pertama, al-Quran membahas mengenai konsep “Pemimpin” dengan banyak istilah, tidak tunggal. Pemimpin kadang disebut dengan istilah Qawwam, kadang disebut dengan istilah imam, dan dengan istilah khalifah. Ketiganya berbeda makna dan cakupannya.
Bahkan khusus untuk konsep pemimpin dengan penggunaan istilah Khalifah, dalam al-Quran secara nyata, dipersepsikan dengan sejarah kelam. Hal itu misalnya terungkap dari protes para malaikat ketika Allah Swt hendak menciptakan khalifah di muka bumi.
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau” (Al-Baqarah:30).”
Makna Khalifah dalam ayat itu pun tidak bermakna pemimpin negara, melainkan kepemimpinan manusia secara umum. Pada tataran kepemimpinan secara umum pun, dipahami oleh malaikat dengan kriteria yang jelek, yaitu kepemimpinan manusia yang selalu berbuat kerusakan dan pertumpahan darah.
Namun Allah Swt kemudian menegaskan bahwa Dia lebih mengetahui daripada apa yang dipahami oleh para malaikat. Tidak disebutkan alasan rincinya dalam ayat tersebut. Kepemimpinan manusia menjadi semacam rahasia Allah Swt.
Kedua, al-Quran tidak pernah menyebut mengenai konsep “Rakyat” sebagai salah satu elemen dasar dari suatu negara. Al-Quran menyebutnya dengan istilah umat yang sangat berbeda ruang lingkup dan karakteristiknya dengan konsep “Rakyat”, meskipun secara sekilas tampak memiliki arti sama.
Terminologi Rakyat dalam konsep demokrasi lebih bermakna pada aspek kuantitatif. Penentuan pemenang dari kontestasi politik diukur melalui suara rakyat. Semakin banyak rakyat terlibat, atau semakin banyak suara rakyat bisa didapat, maka ia menjadi pemenang. Sedangkan dari aspek kualitas, rakyat yang kaya dengan rakyat yang miskin tetap disebut “Rakyat” hanya berbeda kata sifatnya.
Berbeda dengan terminologi Umat yang digunakan dalam al-Quran. Umat tidak bersandar pada aspek kuantitas, melainkan kualitas. Misalnya, satu orang dapat disebut umat. Al-Quran menyebut Nabi Ibrahim a.s. –sendirian– sebagai “umat” (QS Al- Nahl: 120). Selain itu, kata ummat dalam bentuk tunggal terulang 52 kali dalam Al-Quran.
Tidak hanya itu, terminologi umat tidak hanya terbatas pada kelompok manusia, tetapi digunakan juga untuk menyebut kelompok hewan (QS Al-An’am [6]: 38).
Umat lebih bermakna suatu kelompok yang bermakna kualitatif, yaitu: kelompok yang bergerak dinamis, memiliki arah, waktu, jalan yang jelas, serta gaya dan cara hidup tertentu. Al-Quran surat Yusuf (12): 45 menggunakan kata umat untuk arti waktu. Sedangkan surat Al-Zukhruf (43): 22 untuk arti jalan, atau gaya dan cara hidup.
Karakter Umat ideal disebut dalam al-Quran dengan ummat(an) wasatha, umat yang berada di tengah. Moderat. Bisa mengayomi siapapun, ke kiri maupun ke kanan, ke atas maupun ke bawah, sehingga selalu bergerak untuk menebar kebaikan.
Dengan demikian, dikarenakan terminologi masyarakat dalam peradaban Islam disebut oleh al-Quran dengan istilah Umat bukan Rakyat, maka sesungguhnya secara implisit Islam tidak terikat oleh ruang dan sekat-sekat negara, dan tidak juga bermakna Islam akan terwujud utuh dengan syarat harus ada negara.
Rakyat yang bersifat konsep politis mensyaratkan adanya suatu negara, tetapi Umat tidak mensyaratkan adanya negara yang islami ataukah tidak islami, melainkan menitik-beratkan pada nilai universal dan aspek moral. Aspek moral bersifat universal sehingga akan cocok di manapun dan berlaku dalam waktu dan kondisi apapun. Hal ini sesuai dengan sifat keuniversalan atau ciri utama Islam yaitu rahmatan lil alamin.
Ketiga, perlu diingat, bahwa Nabi Saw pun tidak pernah menyebut selama hidupnya mengenai negara Islam. Apakah zaman Nabi Saw pernah ada satu hadits bahwa zaman itu sebagai daulah Islam? Tidak ada satu teks pun yang menyebutkan itu. Nabi Saw tidak pernah pula menyebut Madinah atau Mekkah sebagai ibu kota dari negara Islam.
Memang ada yang disebut Piagam Madinah (waraqah Madinah), namun isinya bukan berisi aturan konstitusi sebuah negara. Piagam Madinah yang berisi 47 butir mengatur mengenai interaksi antar suku di Madinah, hak-hak Yahudi, aturan tidak boleh saling membunuh, perjanjian perdamaian dan aturan pola interaksi antara berbagai kelompok (silakan disimak isi lengkap Piagam Madinah di link ini).
Keempat, suatu negara dibentuk merupakan hasil konsensus dari mayoritas kehendak rakyat. Titik sentralnya tetap pada kehendak rakyat. Negara Islam Iran, misalnya, sebagai salah satu negara yang menerapkan sistem negara teokratis-demokratis yang bersumber dari konsep negara Islam ala Khomeini, tetapi pada implementasinya tetap pada kehendak rakyat. Buktinya, negara Islam Iran dibentuk dengan didahului oleh adanya referendum, rakyat dibebaskan untuk memilih apakah bentuk negara Islam ataukah tidak.
Dikarenakan hasil dari referendum mayoritas rakyat Iran waktu itu memilih untuk bersama negara Islam, maka dibentuklah negara Islam dan bentuknya adalah republik. Bagaimanapun, sistem Republik yang berdiri di atas konsep demokrasi memang bukan konsep yang sempurna, tetapi jauh lebih baik dibanding sistem politik yang lain.
Kelima, konsep khilafah Islam dalam praktek sejarah di dunia Islam tidak memiliki konsep yang baku. Selalu berubah-ubah. Misalnya dari aspek pemilihan khalifah. Yang mana yang sesungguhnya Islami? Apakah sistem musyawarah seperti pada saat pemilihan sahabat Abu Bakar Shiddieq, Utsman ibn Affan, dan Imam Ali ibn Abi Thalib ataukah sistem penunjukan langsung seperti dipraktekkan Abu Bakar pada saat menunjuk Umar ibn Khattab sebagai khalifah.
Sistem musyawarah yang dipraktekkan pada saat Abu Bakar pun berbeda dengan yang dipraktekkan pada saat pemilihan sahabat Utsman, begitu juga pada saat pemilihan Imam Ali. Musyawarah ala pemilihan Abu Bakar melibatkan kaum Anshar dan hanya 3 orang Muhajirin yang hadir (yaitu Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah). Berbeda dengan pada saat pemilihan Utsman ibn Affan. Ditunjuk 6 orang perwakilan sahabat dengan dibuat mekanisme pemilihan:
- Jika lima orang memilih seseorang dan satu orang yang tidak setuju, maka dia harus dipenggal.
- Jika terdapat dua orang tidak setuju, keduanya harus dibunuh.
- Jika tiga orang setuju dan tiga orang tidak setuju, maka mereka harus setuju dengan keputusan Abdullah bin Umar, dan jika mereka tidak menerimanya, maka kelompok yang di dalamnya ada Abdurrahman bin Auf adalah yang disepakati. Dan jika tidak orang lain tidak setuju dengan mereka, maka mereka harus dibunuh.
Pada saat pemilihan Ali ibn Abi Thalib pun berbeda, di mana Ali dibaiat karena adanya permintaan langsung dari umat Islam waktu itu. Tidak ada sistem pemilihan seperti pada periode khalifah sebelumnya.
Sistem kekhalifahan selama berabad-abad setelah era Khalifah Rasyidin umumnya sistem monarkhi absolut, yaitu kepemimpinan yang diturunkan secara turun-temurun, persis dengan sistem kerajaan, meskipun dengan corak berbeda. Jika demikian, sistem mana yang akan dipraktekkan? Dan jika memilih, apa alasan yang mendasari memilih satu sistem di atas dan mengesampingkan sistem lain, padahal kedua-duanya dipraktekkan oleh para khalifah?
Kesimpulan dari semua itu, memperjuangkan nilai-nilai dalam ajaran Islam tidak hanya perjuangan menegakkan syariat Islam melalui pendirian negara Islam, namun yang lebih penting dari itu adalah bagaimana nilai-nilai universal tersebut dapat diimplementasikan secara konsisten dalam kehidupan masyarakat. Berjuang untuk mengganti sistem negara dengan sistem khilafah bukan cara yang tepat untuk itu.
Tidak menjamin sistem kekhalifahan akan berbanding lurus dengan pencapaian tujuan dari Islam. Sejarah telah membuktikan, sejak zaman Khalifah Rasyidin hingga Dinasti Ottoman, dunia Islam mengalami pasang-surut, pertumpahan darah di antara kaum Muslim sendiri tak terelakkan.
Hal ini menunjukkan, sistem khilafah bukan satu-satunya cara dalam mewujudkan nilai-nilai universal Islam. Perwujudan di setiap wilayah dapat menyesuaikan sesuai dengan corak dan karakteristik daerahnya, yang terpenting adalah nilai-nilai universal itu dapat tegak.**
Sumber Artikel: (----)
No comments:
Post a Comment