Sebelumnya Indonesia menjadi satu-satunya negara G-20 yang belum menjadi anggota FATF. Dengan menjadi anggota organisasi tersebut akan ada kerja sama dengan negara lain untuk mendalami kasus-kasus pencucian uang.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ( PPATK) tengah mengupayakan agar Indonesia menjadi anggota Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF).
Atas dasar itu, maka keinginan Indonesia untuk bergabung menjadi anggota satuan tugas internasional dalam memerangi kejahatan pencucian uang dan pendanaan terorisme atau yang lebih dikenal Financial Action Task Force (FATF) segera terwujud.
Surat resmi Presiden Financial Action Task Force (FATF), Juan Manuel Vega-Serrano kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani tertanggal 29 Juni 2017 menyatakan mayoritas peserta sidang pleno FATF pada tanggal 23 Juni 2017 di Valencia sepakat menyetujui keanggotaan Indonesia dalam FATF.
Dalam laman situs Hukum Online, setelah Regulasi dinilai mencukupi, Indonesia segera jadi Anggota FATF.
Presiden FATF, Juan Manuel Vega-Serrano memutuskan segera memproses keanggotaan Indonesia dalam FATF nantinya melalui Sidang Pleno FATF, Oktober 2017 yang akan digelar pada Oktober 2017 mendatang. Keputusan untuk memproses keanggotaan Indonesia dalam FATF ini juga didukung oleh mayoritas peserta Sidang Pleno FATF yang digelar di Valencia pada 23 Juni 2017 yang lalu.
“Pada pertemuan Pleno di Valencia dari 21-23 Juli, saya memberi tahu anggotamengenaisurat Anda(Menteri Keuangan Sri Mulyani). Saya dengan senang hati memberi tahu Anda(Sri Mulyani)bahwa Indonesiamendapat dukungan penuh dan Pleno tersebut menyetujui agar keanggotaan tersebut terbuka untuk Indonesia,"sebagaimana dikutip dari surat resmi Presiden FATF kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani tanggal 29 Juni 2017.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti menyebutkan bahwa keanggotaan Indonesia dalam forum ini memiliki arti strategis karena FATF merupakan forum kerja sama antarnegara yang bertujuan menetapkan standar global rezim anti pencucian uang, pendanaan terorisme dan berbagai hal lain yang mengancam sistem keuangan internasional. Selain itu, Indonesia sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia yang juga merupakan anggota G20 sudah selayaknya berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan strategis yang dapat menentukan sistem keuangan internasional.
“Berkat lobi intensif yang dilakukan Delegasi RI dari unsur Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), KBRI Madrid, dan PTRI Jenewa. Akhirnya disepakati untuk dimulai pada Sidang Pleno FATF di Argentina, Oktober 2017,” kata Nufransa dalam keterangan tertulisnya Minggu (2/7).
Ia melanjutkan, salah satu pertimbangan kenapa 37 Anggota FATF secara bulat mendukung masuknya Indonesia sebagai anggota yakni karena regulasi di Indonesia dinilai telah cukup mengakomodir upaya memerangi pencucian uang dan pendanaan terorisme. Regulasi yang dimaksud itu diantaranya UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, serta penerbitan peraturan bersama mengenai proliferasi senjata pemusnah masal.
Sekedar informasi, regulasi lain yang tengah disusun sebagai bagian dari upaya Indonesia agar bisa menjadi bagian dari FATF yakni aturan terkait pengungkapan pihak penerima manfaat yang sebenarnya (beneficial owner) yang bakal dituangkan nantinya melalui Rancangan Peraturan Presiden tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencehgan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Terorisme.
Baca Tentang : The Financial Action Task Force (FATF)
Lewat aturan itu, nantinya indikasi terkait adanya dugaan tindak pidanan pencucian uang maupun pendanaan terorisme yang dilakukan oleh korporasi diharapkan dapat lebih mudah untuk diendus. Dalam wawancara sebelumnya, Ketua Tim Penyusun Rancangan Perpres, Yunus Husein menjelaskan bahwa disusunnya aturan ini juga dimaksudkan untuk memenuhi kepatuhan Indonesia dengan Rekomendasi 24 dan 25 FATF on Money Laundering. Draf aturan itu sudah rampung dan tinggal menunggu diteken oleh presiden, sayangnya hingga saat ini status Rancangan Perpres tersebut masih belum jelas.
“Pengalaman dan kapasitas Indonesia dalam isu ini juga dipercaya dapat memberi nilai tambah yang signifikan bagi FATF beserta anggota dalam memerangi pencucian uang dan pendanaan terorisme,” lanjut Nufransa.
Indonesia terus berkomitmen untukmemenuhi semua persyaratanyang dibutuhkan sebagai anggota FATF, termasuk dengan menyelesaikan proses Mutual Evaluation Review (MER). Sebagai bukti, 15 Kementerian dan Lembaga terkait terus membahas sejumlah hal untuk menyempurnakan dan melengkapi hal-hal yang masih perlu dilakukan terkait pelaksanaan MER pada November 2017. Di tingkat internasional, Indonesia adalah anggota aktif The Egmont Group, Asia-Pacific Group on Money Laundering (APG) termasuk menggiatkan serangkaian kerjasama Financial Intelligence Unit (FIU) Indonesia dengan FIU negara lain.
“Indonesia juga telah memberikan sumbangsihnya bagi komunitas internasional dengan menyusun Regional Risk Assessment on Terrorism Financing yang pertama di dunia, menginisiasi National Risk Assessment on Money Laundering/Terrorist,” kata Nufransa.
Untuk diketahui, kegiatan persiapan menghadapi proses MER sudah dilakukan sejak akhir tahun 2015, dan masih terus berlangsung hingga saat ini. Kegiatan menghadapi proses MER ini melibatkan seluruh pemangku kepentingan dari rezim anti-pencucian uang dan pemberantasan pendanaan terorisme yang tergabung dalam Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yang dibentuk berdasarkan Perpres Nomor 6 Tahun 2012 sebagaimana telah diubah dengan Perpres Nomor 117 Tahun 2016 tentang Komite Koordinasi Nasinal Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Analis PPATK Nyoman Sastrawan, dalam kesempatan sebelumnya, menyampaikan MER sudah dilakukan di Indonesia sejak tahun 2007 lalu. Pada 2008, hasil MER ditetapkan dalam APG Annual Meeting. Penilaian terhadap Indonesia pun dimulai pada tahun ini dan pada November tahun ini one-site visit evaluator akan datang ke Indonesia dan memberikan penilaian. Bagaimana jika nilai yang diperoleh oleh Indonesia buruk?
Sastra menyebutkan, akan ada tiga konsekuensi yakni masuk ke dalam daftar negara-negara yang tidak patuh pada FATF Public Statement, Indonesia akan disejajarkan dengan negara-negara dunia ketiga yang rezim AML/CFT nya belum mumpuni, dan terganggunya kredibilitas Indonesia dalam kegiatan bisnis dan investasi internasional.
"Apakah rezim ini perkembangannya bagus atau belum itu di assesment berdasarkan 40 rekomendasi itu. Ada persyaratan tertentu supaya negara kalau tidak complay itu masuk ke blacklist. Syaratnya untuk bergabung itu harus dibagusin dulu 40 rekomendasi yang sudah dipenuhi, dan sekarang sudah cukup banyak rekomendasi yang sudah dipenuhi oleh Indonesia. Ada beberapa yang perlu diperbaiki ada yang sudah baik. Nanti hasilnya, itu November rilisnya, kita sudah banyak melakukan persiapan, berdoa saja supaya bagus (nilainya)," katanya.
Sumber : Hukum Online
Baca Juga : Mengenal The Financial Action Task Force (FATF)
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ( PPATK) tengah mengupayakan agar Indonesia menjadi anggota Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF).
Atas dasar itu, maka keinginan Indonesia untuk bergabung menjadi anggota satuan tugas internasional dalam memerangi kejahatan pencucian uang dan pendanaan terorisme atau yang lebih dikenal Financial Action Task Force (FATF) segera terwujud.
Presiden FATF 2017-2018, Santiago Otamendi (Argentina) |
Dalam laman situs Hukum Online, setelah Regulasi dinilai mencukupi, Indonesia segera jadi Anggota FATF.
“Pada pertemuan Pleno di Valencia dari 21-23 Juli, saya memberi tahu anggotamengenaisurat Anda(Menteri Keuangan Sri Mulyani). Saya dengan senang hati memberi tahu Anda(Sri Mulyani)bahwa Indonesiamendapat dukungan penuh dan Pleno tersebut menyetujui agar keanggotaan tersebut terbuka untuk Indonesia,"sebagaimana dikutip dari surat resmi Presiden FATF kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani tanggal 29 Juni 2017.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti menyebutkan bahwa keanggotaan Indonesia dalam forum ini memiliki arti strategis karena FATF merupakan forum kerja sama antarnegara yang bertujuan menetapkan standar global rezim anti pencucian uang, pendanaan terorisme dan berbagai hal lain yang mengancam sistem keuangan internasional. Selain itu, Indonesia sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia yang juga merupakan anggota G20 sudah selayaknya berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan strategis yang dapat menentukan sistem keuangan internasional.
Kementerian Keuangan. Foto: SGP |
Ia melanjutkan, salah satu pertimbangan kenapa 37 Anggota FATF secara bulat mendukung masuknya Indonesia sebagai anggota yakni karena regulasi di Indonesia dinilai telah cukup mengakomodir upaya memerangi pencucian uang dan pendanaan terorisme. Regulasi yang dimaksud itu diantaranya UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, serta penerbitan peraturan bersama mengenai proliferasi senjata pemusnah masal.
Sekedar informasi, regulasi lain yang tengah disusun sebagai bagian dari upaya Indonesia agar bisa menjadi bagian dari FATF yakni aturan terkait pengungkapan pihak penerima manfaat yang sebenarnya (beneficial owner) yang bakal dituangkan nantinya melalui Rancangan Peraturan Presiden tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencehgan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Terorisme.
Baca Tentang : The Financial Action Task Force (FATF)
Lewat aturan itu, nantinya indikasi terkait adanya dugaan tindak pidanan pencucian uang maupun pendanaan terorisme yang dilakukan oleh korporasi diharapkan dapat lebih mudah untuk diendus. Dalam wawancara sebelumnya, Ketua Tim Penyusun Rancangan Perpres, Yunus Husein menjelaskan bahwa disusunnya aturan ini juga dimaksudkan untuk memenuhi kepatuhan Indonesia dengan Rekomendasi 24 dan 25 FATF on Money Laundering. Draf aturan itu sudah rampung dan tinggal menunggu diteken oleh presiden, sayangnya hingga saat ini status Rancangan Perpres tersebut masih belum jelas.
“Pengalaman dan kapasitas Indonesia dalam isu ini juga dipercaya dapat memberi nilai tambah yang signifikan bagi FATF beserta anggota dalam memerangi pencucian uang dan pendanaan terorisme,” lanjut Nufransa.
Indonesia terus berkomitmen untukmemenuhi semua persyaratanyang dibutuhkan sebagai anggota FATF, termasuk dengan menyelesaikan proses Mutual Evaluation Review (MER). Sebagai bukti, 15 Kementerian dan Lembaga terkait terus membahas sejumlah hal untuk menyempurnakan dan melengkapi hal-hal yang masih perlu dilakukan terkait pelaksanaan MER pada November 2017. Di tingkat internasional, Indonesia adalah anggota aktif The Egmont Group, Asia-Pacific Group on Money Laundering (APG) termasuk menggiatkan serangkaian kerjasama Financial Intelligence Unit (FIU) Indonesia dengan FIU negara lain.
“Indonesia juga telah memberikan sumbangsihnya bagi komunitas internasional dengan menyusun Regional Risk Assessment on Terrorism Financing yang pertama di dunia, menginisiasi National Risk Assessment on Money Laundering/Terrorist,” kata Nufransa.
Untuk diketahui, kegiatan persiapan menghadapi proses MER sudah dilakukan sejak akhir tahun 2015, dan masih terus berlangsung hingga saat ini. Kegiatan menghadapi proses MER ini melibatkan seluruh pemangku kepentingan dari rezim anti-pencucian uang dan pemberantasan pendanaan terorisme yang tergabung dalam Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yang dibentuk berdasarkan Perpres Nomor 6 Tahun 2012 sebagaimana telah diubah dengan Perpres Nomor 117 Tahun 2016 tentang Komite Koordinasi Nasinal Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Analis PPATK Nyoman Sastrawan, dalam kesempatan sebelumnya, menyampaikan MER sudah dilakukan di Indonesia sejak tahun 2007 lalu. Pada 2008, hasil MER ditetapkan dalam APG Annual Meeting. Penilaian terhadap Indonesia pun dimulai pada tahun ini dan pada November tahun ini one-site visit evaluator akan datang ke Indonesia dan memberikan penilaian. Bagaimana jika nilai yang diperoleh oleh Indonesia buruk?
Sastra menyebutkan, akan ada tiga konsekuensi yakni masuk ke dalam daftar negara-negara yang tidak patuh pada FATF Public Statement, Indonesia akan disejajarkan dengan negara-negara dunia ketiga yang rezim AML/CFT nya belum mumpuni, dan terganggunya kredibilitas Indonesia dalam kegiatan bisnis dan investasi internasional.
"Apakah rezim ini perkembangannya bagus atau belum itu di assesment berdasarkan 40 rekomendasi itu. Ada persyaratan tertentu supaya negara kalau tidak complay itu masuk ke blacklist. Syaratnya untuk bergabung itu harus dibagusin dulu 40 rekomendasi yang sudah dipenuhi, dan sekarang sudah cukup banyak rekomendasi yang sudah dipenuhi oleh Indonesia. Ada beberapa yang perlu diperbaiki ada yang sudah baik. Nanti hasilnya, itu November rilisnya, kita sudah banyak melakukan persiapan, berdoa saja supaya bagus (nilainya)," katanya.
Sumber : Hukum Online
Baca Juga : Mengenal The Financial Action Task Force (FATF)
No comments:
Post a Comment