Tentang Cak Nun Kita : Perpaduan antara kedahsyatan dengan kelembutan - Indowordnews

Breaking

13 July 2017

Tentang Cak Nun Kita : Perpaduan antara kedahsyatan dengan kelembutan

Muhammad Ainun Nadjib. Perpaduan antara kedahsyatan dengan kelembutan. Pengayom sebuah bangsa yang yatim.
Pengajian Cak Nun
Pada suatu pengajian Cak Nun di Demak, tiba-tiba ada seorang remaja naik ke atas panggung. Dengan sigap, panitia acara lantas mengusir remaja laki-laki gila tersebut, karena panitia dan masyarakat sekitar tahu bahwa remaja laki-laki tersebut memang terkenal gila betulan.

Di saat ribuan orang menganggapnya gila, hanya satu orang yang mau menyapa hatinya. Cak Nun memanggil remaja laki-laki gila tersebut untuk kembali ke atas panggung. Di saat ribuan orang menganggapnya seperti virus penyakit sehingga harus dijauhi, bahkan kalau perlu diludahi kalau nekat mendekat, Cak Nun langsung mendekap tubuh bocah kesepian tersebut.

Bocah tersebut pun sangat kaget, karena di dunia ini masih ada orang yang mau menyapa hatinya, bahkan memeluk tubuhnya. Tanpa ada rasa jijik sedikitpun. Tanpa ada rasa malu sedikitpun. Sosok berbaju putih tersebut justru memeluknya semakin mesra dan menatap ribuan jama’ah sambil tersenyum. Seolah Cak Nun ingin bilang pada masyarakat Demak, “Ini salah satu anakku.”

Remaja laki-laki itu memang bocah kesepian. Namanya Edy Setiawan. Sudah yatim-piatu, dianggap orang gila pula. Hidup sebatang kara di dunia ini. Tidak ada yang mau menjadi temannya. Mungkin kalau ia mendekati teman-teman sebayanya, ia akan dipukuli agar takut mendekat lagi. Mungkin kalau ia duduk-duduk di warung makan, ia akan langsung diberi krupuk dan diusir.

Seorang Muhammad Ai (nun) Nadjib memang manusia berlian. Hati beliau bening, mengkristal indah, dan bisa memancarkan cahaya kasih sayang. Meski luar biasa “mahal”, seorang Cak Nun tidak risih bercengkrama dengan rakyat jelata, bahkan mau memeluk orang gila.

Meski diakui kadar intelektualitasnya oleh profesor-profesor dari negara maju di Eropa Barat, Cak Nun mau mendidik orang-orang di perdesaan yang mungkin kebanyakan hanya tamatan wajib belajar 9 tahun. Bercengkrama semalam suntuk. Mendengarkan keluh kesah. Membesarkan hati. Selama 20 tahun keliling Indonesia tanpa henti. 

Sudah “jalan kaki” ke lebih dari 1.300 desa di 28 provinsi. Cak Nun tidak mengenal gengsi seperti kebanyakan diri kita. Meski sering keliling dunia di empat benua, bertemu petinggi-petinggi negara dan pemuka agama taraf internasional, beliau mau berteman akrab dengan kuli-kuli gendong di pasar. Meski sahabat seorang raja (Sultan HB X), beliau tetap mau kumpul-kumpul cekakakan dengan para preman dan para tukang becak.

Meski sangat ditakuti Pak SBY yang konon mengaku seorang presiden, beliau mau menerima telepon dari seorang gelandangan. Beliau tidak risih, bahkan bergembira, mendengar “laporan” pemuda pengangguran 35 tahun yang berlagak intelijen tentang situasi demo di depan DPR.

Meski di-kiyai-kan oleh para kiyai, Cak Nun tetap mau mengadakan pengajian khusus untuk para pelacur di beberapa tempat. Tidak pernah memvonis masuk neraka, tapi untuk membesarkan hati. Para pembaca tulisan saya ini yang dari kalangan pesantren pasti akrab dengan dua adagium ini: Kalau tidak bisa mempebaiki, jangan menambah kerusakan. 

Menghindari mudharat lebih diutamakan daripada mengharapkan manfaat. Kalau diri kita tidak bisa menolong para pelacur untuk keluar dari lembah hitam, diri kita jangan juga lantas memutus harapan para pelacur dari kasih sayang Allah. Ingin tampak lebih gagah dan lebih suci? Hanya orang yang tidak gagah dan tidak suci yang butuh pengakuan.

Jangankan membutuhkan pengakuan, bahkan beliau senang menutupi aneka kebesaran yang sudah melekat pada dirinya sendiri. Sekalipun keturunan Imam Zahid, tapi tidak mau dipanggil “gus”. Perlu para pembaca tahu, Imam Zahid itu sahabat Hadratusyeikh Hasyim Asy’ari, sama-sama santri kinasihnya Syaihkona Kholil Bangkalan. Tak heran pula Gus Dur sangat menyayangi Cak Nun, demikian pula sebaliknya.

Ketika seorang presiden “menasionalisasi” Lumpur Lapindo, bahkan menyebutnya sebagai bencana alam, akhirnya Cak Nun yang pasang badan untuk 11.800 keluarga korban. Cak Nun sendiri yang menelpon Ibu Rosmiyah Bakrie, meminta agar anaknya mau menyantuni puluhan ribu warga Sidoarjo, meski pengadilan telah menyatakan perusahaan anaknya tidak bersalah.

Ketika bentrokan antara perusahaan budidaya udang dengan petambak udang di Tulangbawang sudah memuncak, hingga menewaskan tiga orang dan membuat cukup banyak orang luka-luka, Cak Nun tampil menengahi kedua pihak. Beliau pun meminta diadakannya perubahan paradigma pemerintahan kabupaten Tulangbawang dan pembenahan pada tingkat elit perusahaan. Alhasil, selang beberapa waktu, kedua pihak tersebut tidak hanya rukun, tapi juga semakin sejahtera. 

Perusahaan budidaya udang semakin laba, para petambak udang semakin sejahtera.
Tentu masih banyak cerita heroik lainnya. Lalu, demi pamrih apakah Cak Nun tampil dimana-mana? Popularitas? Uang? Jika Anda menganggap perjuangan seorang Muhammad Ainun Nadjib untuk materi dunia, pasti Anda ditertawakan Pak Harto. 

Sedikit cerita, sejengkel-jengkelnya Pak Harto pada kritikan pedas Cak Nun terkait jalannya Orde Baru, Pak Harto tidak bisa memenjarakan beliau. Pak Harto sangat tahu bahwa beliau tulus orangnya. Satu-satunya orang yang berani “kurang ajar” pada Pak Harto hanya Cak Nun—semisal lingguh jigang atau berambut gondrong saat di istana—dan Pak Harto tidak bisa marah. Ketika Cak Nun bilang kepada Pak Harto untuk segera mandeg pandhito, Pak Harto hanya diam tersenyum dan mengangguk. Sebab Pak Harto tahu Cak Nun kalau ngomong sesuatu bukan untuk dirinya sendiri. Diiming-imingi saham perusahaan, Cak Nun menolak. Ditawari jabatan menteri pada 1980-an, Cak Nun juga menolak.

Semua perjuangan ikhlas demi rakyat. Orang bisa berbohong dan berhasil membohongi banyak orang, tapi tidak akan bisa bertahun-tahun. Level penipu ulung sekalipun. Sebab manusia digariskan tidak akan tahan menjadi bukan dirinya sendiri lama-lama. Ini rumusnya.

Seorang Muhammad Ainun Nadjib mampu mengayomi rakyat 20 tahun lamanya, tanpa pernah meminta upah seperser pun. Dari 20 tahun lalu hingga detik ini beliau tidak pernah berubah. Selalu mengayomi rakyat.

Ketika dulu masih muda, setelah shalat di mushola, beliau mendapat suatu ilham. Tanpa pikir panjang, beliau segera menelpon saudara-saudaranya di Jombang. Minta dicarikan empat orang yang sangat miskin tapi akhlaknya baik malam itu juga. Sebab besok paginya beliau akan mengirim uang ke Jombang, untuk ongkos naik haji keempat orang tersebut.

Tetap saja begitu hingga sekarang. Beliau tetap sering mengirimkan uang ke banyak orang miskin. Entah untuk ongkos naik haji, entah untuk modal usaha bikin warung kelontong, entah untuk beasiswa, dan sebagainya.

Apakah persediaan uang tersebut ada dengan jalan meminta? Atau mengajukan proposal? Tidak pernah sekalipun. 

Dulu Cak Nun pernah akan diberi cek dengan nominal Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) oleh seorang pengusaha, tapi cek tersebut langsung disobek beliau. Sekadar info, menyobek cek itu aslinya tidak apa-apa, 

karena uangnya tetap utuh di dalam brangkas bank. ”Kalau ketemu saya lagi, mending ditraktir makan saja,” kata beliau sambil tersenyum. Ciri-ciri pejuang sejati adalah mampu menghidupi perut dan idealisme dirinya sendiri. Ciri-ciri pejuang sejati adalah mampu menolong orang lain dengan hasil kerja keras dirinya sendiri.

Indonesia ibaratnya adalah sebuah kapal yang panjangnya 12,5 kilometer. Kapal raksasa ini mempunyai 39 rusuk. Ada sekitar 15 rusuk yang sudah retak, dan sungguh kapal ini tinggal menunggu waktu untuk tenggelam, kalau tidak diperbaiki. Apalagi empat dari lima ruangan utama kapal ini sudah hancur.

Mungkin tidak dalam waktu dekat. Tapi, yang jelas, suatu hari Indonesia akan mendatangi kesejatian, karena kepalsuan bersifat sementara dan kegelapan bersifat menghancurkan. Indonesia mau tidak mau akan mengikuti kesejatian, sebab hanya kesejatian yang memiliki perspektif masa depan cerah.

Tulisan ini sama sekali bukan untuk me-monumen-kan Muhammad Ainun Nadjib, karena haram hukumnya mabuk pada seseorang. Ketika saya menulis tentang Cak Nun, Gus Dur, Gus Mus, atau yang lainnya, harapan saya adalah untuk dijadikan uswatun hasanah.

Jika kita menjadikan “Cak Nun” sebagai kata kerja yang cair dan dinamis, bukannya sebagai kata benda yang padat dan statis, maka beliau akan bernasib sama dengan Bung Karno dan Gus Dur kelak. Tidak ada manusia yang hidup abadi, tapi dengan suatu mekanisme cinta, beliau akan bisa tetap selalu hidup...di hati kita.

Saya tidak berani berharap apa-apa pada Indonesia. Bangsa ini memang tidak butuh Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, maupun Muhammad Ainun Nadjib, karena ketiganya manusia yang agung.

Suatu hari, karena tidak kuat membayar ustadz yang muda, ganteng dan terkenal, akhirnya para TKW di Hong Kong meminta Cak Nun yang datang. Di luar dugaan, Cak Nun hanya mau dengan tiga syarat; (1) Tidak mau dibayar, (2) tidak perlu dijemput di bandara, dan (3) tidak mau tidur di hotel.
Akhirnya, Cak Nun terbang ke Hong Kong dengan kocek sendiri, menuju lokasi naik bus, dan istirahat malam di rumah inap biasa. Ketika ditanya para TKW Hong Kong kenapa sampai berbuat demikian, beliau menjawab, “Aku datang sebagai bapakmu.”

Muhammad Ainun Nadjib. Perpaduan antara kedahsyatan dengan kelembutan. Pengayom sebuah bangsa yang yatim.

No comments:

Post a Comment