Fadli Zon, Foto: http://dpr.go.id |
“Di negara-negara lain, SARA untuk kepentingan kampanye sudah menjadi biasa. Misalnya, dalam Pilkada di Jawa Barat, isu SARA yang dilontarkan adalah para calon harus orang Sunda,” ujar Fadli, di DPR, Senin (8/1/18).
Di sini kita hati-hati menanggapi statement Fadli Zon, baca baik-baik.
Politikus Partai Gerindra ini menambahkan, dalam pembicaraan SARA perlu dilihat dan mendefinisikan SARA itu. Yang tidak boleh kalau untuk menghina dan menjatuhkan.
“Kita harus mendefinisikan isu SARA. Kalau SARA itu mengedepankan kesukuan, agama, dan lain-lain, di seluruh dunia menggunakan itu. Yang tidak boleh mengeksploitir dengan cara menghina dan menjatuhkan. Dalam Pilkada membuat formasi berdasarkan kepentingan, seperti jumlah suku, agama, saya kira itu wajar,” katanya dilansir dari jurnalpolitik.
Apalagi, imbuh Fadli, jika isu SARA yang digunakan untuk fitnah, hoax, dan penistaan, itu sangat dilarang. Namun sebaliknya, bila untuk strategi politik, tidak masalah.
“Di Pilkada NTT, isu SARA yang mengemuka adalah calonnya harus beragama Nasrani. Itu hal biasa asal tidak menimbulkan sumber konflik,” kata dia.
Bagi Fadli opini di atas menurut sebagiannya juga sangat menarik, hanya saja seringkali kebabalasan di era demokrasi terbuka saat ini. Pilkada DKI contohnya, begitu capeknya masyarakat terkena dampak itu.
Dalam konteks agama, memang kita sudah tahu Tuhan telah menciptakan manusia itu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, gunanya untuk saling kenal-mengenal, yang paling baik di mata Tuhan adalah orang paling taat, takwa kepada-Nya. Begitulah, saat ini ada berbagai agama: Islam, Katholik, Kristen, Budha, hinda dan sebagainya. Ada berbagai bangsa: Arab, India, Tiongkok, Eropa, dan lainnya.
Politik berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menjadi salah satu hal yang paling diwaspadai menjelang tahun politik.
Di lain pihak, Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti memprediksi politik SARA tak akan berhenti pada Pilkada 2018. Menurut Ray, bahkan bisa terus berlanjut hingga Pemilu 2019.
Menurut Ray, efek politik SARA bisa melebihi bahaya politik uang.
Ray Rangkuti |
Ia menambahkan, isu SARA berpotensi kembali dimanfaatkan pada beberapa daerah yang menggelar Pilkada Serentak 2018. Daerah rawan itu seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara.
Menurut Ray, politik SARA perlu diantisipasi karena seolah ada suasana yang melegalisasi praktik politik tersebut.
"Bahwa SARA dianggap tidak bermasalah karena perspektif dianya, bukan persepektif demokrasinya. Karena dianggap mengamalkan kepercayaan agama tertentu," tutur Ray.
Di samping itu, belum ada definisi yang ketat soal politik SARA. Hal itu membuat penyelenggara pemilu, khususnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak responsif dengan isu SARA, khususnya isu agama.
Dalam Undang-Undang Pemilu, misalnya, telah jelas dilarang melakukan penghinaan terhadap etnis, agama, dan lainnya.
Hal senada diungkapkan pengamat politik dari Universitas Paramadina, Arif Susanto. Menurut Arif, pengalaman Pilkada DKI Jakarta menjadi contohnya.
"Jakarta telah menjadi semacam laboratoriun untuk mempraktikkan penyalahgunaan penggunaan identitas yang efeknya akumulasi kekuasaan pada level elite, tapi pada masyarakat terjadi pembelahan sosial," ujar Arif.
Arief menyebutkan setidaknya ada empat hal yang menyebabkan politik identitas mudah subur di suatu daerah. Mulai dari adanya kesenjangan ekonomi, buruknya kelembagaan politik, adanya polarisasi politik, dan rendahnya literasi. Rendahnya literasi itu mencakup literasi politik dan literasi komunikasi.
Hati-hati memanfaatkannya!
Politik Identitas Menguat Karena Negara Abai Terhadap Keadilan Sosial. #DPRQuotes pic.twitter.com/unLCw57TjO— DPR RI (@DPR_RI) 8 Januari 2018
Malik.iwn
No comments:
Post a Comment